Peta daerah pemilihan (dapil)
untuk DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota se Indonesia sudah ditetapkan
Komisi Pemilihan Umum (KPU), 9 Maret lalu. Saat ini wilayah yang akan menjadi
arena kontestasi peserta pemilu 2014 sudah terbuka secara terang benderang
dihadapan para kontestan.
Berdasarkan data dan peta dapil
yang ditampilkan di website KPU, terjadi penambahan dan pemekaran dapil di
sejumlah daerah karena adanya pemekaran wilayah dan pertambahan jumlah
penduduk. Perubahan dapil otomatis akan mengubah konstalasi politik di setiap
daerah.
Bagi partai politik informasi
dapil sangat penting sebagai acuan untuk merumuskan strategi pemenangan. Sebab
daerah yang tadinya satu dapil dan merupakan basis suara partai bisa saja sudah
dimekarkan dan ada bagian-bagian yang masuk ke dapil lain yang merupakan basis
suara kompetitor.
Dengan tuntasnya penataan dan
penetapan dapil, semua partai perlu mengkaji dan merumuskan ulang strategi
pemenangan di setiap dapil atau di level operasional. Sebab siapa yang menguasai
dapil, dia lah yang akan mengusai kursi DPRD dan sekaligus menguasai peta
perpolitikan daerah.
Membedah dan membaca dapil
setidaknya dapat dilihat dari tiga aspek yakni aspek geografis, demografis dan
sosiologis. Secara geografis misalnya, kita mendapati ada dapil yang daerahnya
luas dan daerahnya sempit karena penyebaran penduduk di setiap daerah
berbeda.
Daerah yang sempit dapat saja
memiliki kursi yang lebih banyak karena terjadi penumpukan jumlah penduduk di
daerah tersebut. Begitu juga sebaliknya, daerah yang luas, bisa saja kursi
yang diperebutkan sedikit karena penduduknya jarang.
Kemudian, ada dapil yang akses
transportasinya sulit dijangkau antara satu daerah dengan daerah lain terutama
di daerah-daerah kepulauan dan daerah tertinggal. Sehingga daerah yang tadinya
memiliki kedekatan budaya tetapi karena dihukum oleh georafis yang sulit
akhirnya harus di pisah.
Di sinilah pentingnya partai
mengatur strategi mana wilayah-wilayah yang akan jadi prioritas dan fokus
dijadikan arena pertarungan. Skala prioritas juga tergantung kondisi sumberdaya
manusia maupun dana yang dimiliki oleh setiap partai.
Daerah-daerah yang sulit tersebut
harusnya tidak lagi menjadi prioritas partai karena akan menghabiskan energi.
Kecuali statistik perolehan suara dari pemilu ke pemilu di daerah tersebut
menunjukkan angka yang konsisten sehingga dapat disimpulkan daerah tersebut
merupakan basis partai.
Begitu juga aspek demokrafi perlu
dibaca secara utuh dan mendalam. Setiap daerah akan berbeda kepadatan
penduduknya, struktur usia, rasio jenis kelamin, suku, bahasa agamanya,
tingkat pendidikan dan ekonominya. Daerah yang didominasi oleh kalangan muda
dan usia produktif misalnya akan lebih menyenangi isu yang berkaitan dengan
peluang-peluang yang dapat mereka manfaatkan untuk menjawab kebutuhannya di
masa mendatang.
Kalangan berpendidikan tinggi
dengan ekonomi yang mapan lebih sulit menyakinkannya dari pada masyarakat
kebanyakan. Mereka lebih kritis dan sangat independen dalam menentukan pilihan.
Karenanya, partai politik harus memasang kandidat yang memiliki kapasitas
intelektual tinggi dan dapat membangun argumentasi yang rasional terhadap visi,
misi dan program yang akan dilempar ke publik.
Pemahaman terhadap aspek sosial
budaya juga menjadi sangat penting. Di daerah-daerah yang masih sangat
tradisional dan pendidikan yang rendah, dimana ikatan antara kepala
suku/kaum/marga dengan masyarakatnya masih sangat kuat maka pilihan politik
mereka akan cenderung mengikuti pilihan pimpinan suku/kaum/marganya. Sehingga
partisipasi politik yang terjadi bukan partisipasi murni tetapi mobilisasi.
Pada posisi ini, kepala
suku/kaum/marga menjadi opinion leader yang akan memengaruhi persepsi dan
pilihan politik masyarakat. Sehingga partai tidak perlu menghabiskan energi
untuk masuk ke lapisan masyarakat di bawah. Partai cukup membangun komunikasi,
merangkul dan menyakinkan opinion leader tersebut bahwa partainya mampu
menjawab kebutuhan masyarakat di daerah itu.
Setelah memahami secara utuh
kondisi setiap dapil, partai selanjutnya perlu memotret diri dan lawan
politiknya di setiap dapil. Meminjam petuah Sun Zhu, ahli perang klasih Cina,
untuk memenangi pertempuran penting mengenali musuh dan mengenali diri
sendiri.
Musuh dalam hal ini diasosiasikan
partai yang akan menjadi pesaing di setiap dapil, sementara diri sendiri
menyangkut struktur, keanggotaan, finansial, serta karya partai yang sudah
diberikan untuk rakyat di setiap dapil.
Untuk mengukur kekuatan diri
sendiri, partai dapat melakukannya dengan mudah. Verifikasi administrasi dan
faktual yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah memberikan gambaran
utuh kondisi partai baik struktur, anggota, keterwakilan perempuan dan
perkantoran.
Memang verifikasi faktual hanya
sampai di level kabupaten/kota tetapi secara administratif, partai saat
mendaftar juga menyertakan susunan pengurus di tingkat kecamatan,
sekurang-kurangnya 50 persen.
Untuk memenangi pertarungan, struktur
partai tidak cukup sampai di tingkat kecamatan. Partai harus memiliki struktur
sebagai kepanjangan tangannya sampai ke tingkat terendah seperti dusun, rukun
tetangga (RT) dan rukun warga (RW). Struktur ini sebenarnya sangat efektif
untuk merekrut anggota, meraih dukungan dan menjaring aspirasi masyarakat.
Karena strategisnya struktur
itulah makanya zaman orde baru, penguasa saat itu sampai-sampai menerapkan
praktik politik floating mass (massa mengambang, red) untuk mengerem pergerakan
partai lain ke jantung masyarakat. Struktur partai hanya boleh sampai di
tingkat kecamatan dengan alasan menjaga stabilitas politik.
Keputusan politik menjadi urusan
elit dan teknokrat, sementara masyarakat hanya mengikuti arah politik sesuai
kehendak elit. Akibatnya Golkar sebagai partai penguasa saat itu tidak pernah
tergeser posisinya sebagai pemenang pemilu dengan suara mutlak rata-rata di
atas 60 persen.
Jumlah anggota juga menjadi
ukuran kekuatan partai. Semakin banyak dan semakin merata penyebaran anggota
merupakan gambaran partai tersebut diterima oleh masyarakat secara luas. Namun
jumlah yang banyak harus diikuti tingkat loyalitas yang tinggi. Sebab para
kader yang loyal lah yang dapat berjuang dengan partai dalam keadaan suka dan
duka.
Karenanya, tugas partai bukan
hanya memproduksi kader dengan mencetak kartu tanda anggota (KTA)
sebanyak-banyaknya tetapi melakukan pengkaderan secara ketat dan berjenjang
sebelum akhirnya mereka didistribusikan ke berbagai posisi politik yang
tersedia.
Basis massa juga perlu diukur
sebagai bagian dari strategi politik. Sebab mereka inilah yang besar
peluangnya dapat ditingkatkan statusnya menjadi kader. Kantong massa dapat
diukur dengan membaca konsistensi pemilih dari waktu ke waktu dan konsistensi lintasan
geografis dan sosio-ekonomik pemilih.
Begitu juga kader perempuan harus
diberi perhatian penuh karena menjadi penentu masa depan partai. Aturan
perundang-undangan memberikan “hak istimewa” kepada perempuan dalam politik.
Mereka wajib masuk dalam struktur kepengurusan sekurang-kurangnya 30 persen di
tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Begitu juga dalam pencalegan,
partai wajib mengakomodir 30 persen dengan zipper system.
Peta diri dengan berbagai
indikator di atas, tentu semua parpol sudah punya. Hanya saja peta diri itu
perlu dielaborasi sampai ke tingkat dapil. Sehingga parpol dapat mengetahui
secara detail di daerah mana saja dia kuat dan di daerah mana lemah beserta
faktor-faktor yang memengaruhinya. Dengan begitu parpol dapat menentukan
dapil yang akan jadi prioritas untuk digempur.
Apalagi dengan kondisi finansial
yang terbatas untuk menggerakkan mesin politik dan melakukan
penggalangan-penggalangan tentu akan sulit. Penentuan skala prioritas menjadi
sangat penting sehingga energi dan kerja-kerja politik partai dapat dilakukan
secara fokus. Dengan cara tersebut, peluang partai untuk mendulang suara dan
merebut kursi akan lebih besar.
Peta lawan juga tentu sudah
ditangan. Setiap struktur di semua tingkatan dapat membandingkan kekuatan
dirinya dengan lawan-lawan politik yang ada di sekitarnya. Tidak hanya dari
segi kelengkapan struktur, anggota, kantor dan kader perempuan tetapi juga
intensitas kegiatan kemasyarakatan.
Kalau lawan kuat di finansial,
sementara kita kuat di militansi kader, masih ada peluang untuk dapat
bersaing dan memenangi pertarungan. Apalagi kader-kader yang militan itu sudah
melakukan investasi sosial di tengah-tengah masyarakat. Kerja-kerja sosial
mereka selama ini jika dirawat dengan baik akan menuai apresiasi dari
masyarakat, salah satunya dengan cara dipilih pada pemilu.
Berikutnya, partai harus memiliki
peta pemilih dan kemungkinan perubahan prilaku pemilih. Mengutip pakar
pemasaran Hermawan Kartajaya, ibarat bisnis jika ingin memenangi persaingan
maka perlu mengenal dan menguasai konsep 4 C. Selain company (perusahaan),
competitor (pesaing), yang tak kalah penting adalah yakni costumer (pelanggan)
dan cange (perubahan).
Pemilih di setiap dapil merupakan
konsumen partai politik. Mereka memiliki tingkat pengetahuan, kesadaran dan
prilaku politik yang beragam. Dengan membaca peta dapil tadi, potret pemilih
akan terekam secara utuh di setiap dapil, bahkan di setiap daerah dalam dapil.
Dengan demikian partai memiliki pertimbangan yang rasional menentukan daerah
yang akan menjadi fokus pertarungan, kandidat yang akan diusung, materi
kampanye dan saluran kampanye yang akan digunakan. Selamat membaca dapil untuk
meraih kemenangan. (*)
Oleh : Gebril Daulai
Wakil Sekretaris DPD KNPI Sumbar
0 komentar:
Posting Komentar