pengumuman

pengumuman
Home » , » Islamic Center dan Cerita Pembangunan yang Berbeda

Islamic Center dan Cerita Pembangunan yang Berbeda

Written By Unknown on Jumat, 29 Maret 2013 | 06.45



Menyikapi setiap gejala yang timbul, merupakan telaah rasionalitas yang paling efektif. Semenjak terbitnya faham pencerahan (enlightenment) Yang secara radikal, telah masuk ke setiap relung kemapanan berfikir manusia, mengusung begitu banyak wacana. Membongkar setiap tradisi mapan dipelbagai belahan dunia.

Implikasinya, proyek raksasa ini telah merambah bukan saja pada tataran kelas borjuasi, tetapi memberikan dampak signifikan pada masyarakat akar rumput (grassroot).

Revolusi Industri, yang di motori Inggris dengan penemuan-penemuan fenomenalnya, mengantarkan manusia ke gerbang kemajuan teknologi bukan saja pada tataran kemapanan hidup, juga berdampak pada degradasi moral dan budaya.

Dari masa ke masa, para pakar teknologi terus berlomba menciptakan penemuan-penemuan, yang awalnya berupa konsep-konsep dalam masyarakat tradisional pada masa itu, yang notabenenya masih merupakan “komunitas wujud” (persepsi masyarakat, tentang jagad raya adalah bagian dari jiwa manusia yang tidak terpisahkan satu dengan yang lain). Serta merta, berubah total menjadi gaung rasionalitas yang menempatkan posisi jagad raya sebagai komunitas diluar manusia yang harus ditaklukkan. Tentu saja dengan ketajaman “pisau berfikirnya”.

Dalam konteks daerah Nusa Tenggara Barat khususnya pada pembangunan Islamic Center (IC) yang hangat dibicarakan bukan saja di forum-forum diskusi warung kopi, juga menjadi pro kontra diskusi di dunia maya seperti di facebook (fb). Bangunan yang konon menelan biaya yang fantastis ini oleh sebagian orang dikatakan sebagai suatu yang patut dibanggakan, sebagian lainnya merasa pembangunan IC sebagai bentuk pencitraan dari kepala daerah yang berkuasa. Maka IC pada poros ini di jadikan semacam “senjata” yang mampu menaikkan atau menurunkan citra bahkan juga menggiringnya ke ranah politik menjelang Pilkada.

Dalam satu tread diskusi di salah satu forum di fb ada juga yang mengkritisi soal dana pembangunan IC yang berasal dari pemotongan gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) respon komentar pun bermunculan ada yang menganggap ini sebagai kebijakan yang berlebihan, ada yang masih merasa wajar-wajar saja, ada juga yang menilainya dari profesionalitas sistem pengelolaan. Dan tentu saja ada juga beberapa klarifikasi mengenai batas-batas “sumbangan” menurut golongan.

Terlepas dari beragamnya pendapat di atas soal hiruk pikuk pembangunan IC, penulis ingin bercerita tentang kondisi yang terjadi di lingkungan tempat tinggalnya, di satu komunitas warga yang dapat dikatakan tak terlalu fanatik pada kepentingan politik siapa yang berkuasa atas apa. Tetapi pada soal legitimasi citra beragama mereka penting untuk terlibat sebagai aktor-aktor yang berkontribusi pada pembangunan.

Sebuah bangunan masjid sederhana yang dibangun dari partisipasi warga, membentuk panitia pembangunan yang pertama-tama bekerja dengan mengelompokkan warga disekitar dalam klasifikasi kesejahteraan warga: sangat miskin, miskin, sedang dan kaya. Panitia, melalui perwakilan warga mengadakan rapat untuk merehab masjid dengan mengkalkulasi jumlah besaran dana yang akan dihabiskan dikali waktu pengerjaannya dikali jumlah warga. Apa maksudnya?

Pengelompokan warga ini bertujuan untuk “menentukan jumlah sumbangan” warga tersebut untuk pembangunan masjid, melalui rapat warga. Akhirnya diputuskan warga yang tergolong kaya mengeluarkan limaratus ribu rupiah per tahun, sementara untuk warga dengan tingkat sedang disepakati dua ratus lima puluh ribu rupiah per tahun. Bagaimana dengan warga yang masuk dalam kategori miskin dan sangat miskin? Hal ini sempat menjadi perdebatan pada saat rapat tersebut tak ada keputusan sampai rapat usai. Solusinya? Panitia mengumumkan hasil rapat dari corong masjid sekaligus meminta pendapat warga yang tergolong miskin untuk menentukan sendiri jumlah sumbangannya sesuai kemampuannya, panitia juga memberikan jangka waktu seminggu untuk menampung keberatan warga atas keputusan soal “jumlah sumbangan” ini. Seminggu kemudian setelah melalui berbagai masukan dan pendapat dari perwakilan warga miskin, panitia membebankan satu sak semen per tahun. Dan sumbangan ini tak ditentukan kapan waktu pengeluarannya.

Namanya Aisah, sehari-hari ia dipanggil Icoq ia seorang janda yang menghidupi dua orang anaknya dan sehari-hari bekerja sebagai pedagang bakulan penghasilannya dari berjualan keliling tak seberapa. Ia mengaku juga panitia masjid memintanya mengeluarkan sumbangan berupa satu sak semen. Lalu bagaimana cara ia mengumpulkan uang membeli semen? Ia mengaku dari penghasilannya perhari ia menyisihkan keuntungan sebesar seribu rupiah dalam celengan. Sehingga menurut perhitungan Icoq satu sak semen akan ia keluarkan dalam waktu kurang dari tiga bulan. Ketika saya bertanya apakah sumbangan ini membebaninya? Ia berkata “lamun sekedar sesak semen jak ndeknne berat lalang setaun, sengaq cemoh ite bedoe masjid” (jika sekedar satu sak semen itu tidak memberatkan jika pertahun karna kita bahagia/ bangga punya masjid) Spirit yang luar biasa dari seorang Icoq. lalu bagaimana dengan warga yang tak sanggup untuk mengeluarkan iuran? Dari rapat warga dan panitia mereka cukup menyumbang dengan tenaga sehingga dibuatkan jadwal yang berbeda untuk ikut dalam kerja bakti pembangunan masjid ini dengan tidak menyampingkan jam kerja mereka sebagai buruh tani dan yang lainnya.

Selain iuran pertahun ini, kami yang mukim di lingkungan itu, juga diminta untuk giliran “menaeq dulang” (mengantar makanan) bergiliran untuk para pekerja. Makanan seadanya, sekemampuan kami “mane-mane ite kelaq siaq ketujur” (walaupun sekedar masak daun turi) kata Halimah alias Imoq yang kebetulan esok harinya mendapat giliran “menaeq”. Sejauh ini, pembangunan masjid di lingkungan kami dalam tahap pengecoran dan terus berjalan. Tak ada yang komplain dengan mekanisme ini.

Akan tetapi sikap kritis warga, praktik-praktik baik juga bagian dari budaya yang harus terus dikembangkan serta mampu menempatkan dirinya disamping kebanggaan terhadap pembangunan. Cara kontrol pembangunan masjid yang ada di lingkungan kami dengan panitia rutin menyiarkan pendapatan kas pembangunan masjid sesaat sebelum sholat jumat dimulai.

Maka keberadaan media yang ada seperti forum-forum diskusi bisa dijadikan wadah efektif untuk berbagi informasi, membangun cara berfikir yang lebih terbuka soal spirit pembangunan dari kacamata “lain” bukan semata berorientasi sebagai cara kita untuk menghitung untung rugi. Sehingga perdebatan demi perdebatan pro dan kontra pembangunan ini, dapat diapresiasi secara bijak sebagai sebuah kontrol warga untuk pembenahan mekanisme dan kinerja tanpa sinis memandang pembangunan sebagai sesuatu yang sia-sia.

Cerita di atas, oleh penulis tak hendak dikaitkan dengan pembangunan IC yang menyoal darimana sumber dana pembangunannya. Tapi melihat spirit masyarakat untuk membentuk identitas citranya sebagai satu cara mengkomunikasikan kebanggaannya atas kemampuan warga membangun sarana ibadah. Sebuah wujud budaya gotong royong yang kelak dapat dikenang sebagi sejarah, jika kita masih percaya bahwa budaya adalah panglima.

Maya Rahmayanti
http://sejarah.kompasiana.com/2013/03/29/islamic-center-dan-cerita-pembangunan-yang-berbeda-546133.html
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Humas PKS Lotim
Copyright © 2011. PKS Gumi Selaparang | Lombok Timur - NTB - All Rights Reserved
Template Created by Mas Template
Proudly powered by Blogger