Menyikapi setiap gejala yang
timbul, merupakan telaah rasionalitas yang paling efektif. Semenjak terbitnya
faham pencerahan (enlightenment) Yang secara radikal, telah masuk ke setiap
relung kemapanan berfikir manusia, mengusung begitu banyak wacana. Membongkar
setiap tradisi mapan dipelbagai belahan dunia.
Implikasinya, proyek raksasa ini
telah merambah bukan saja pada tataran kelas borjuasi, tetapi memberikan dampak
signifikan pada masyarakat akar rumput (grassroot).
Revolusi Industri, yang di motori
Inggris dengan penemuan-penemuan fenomenalnya, mengantarkan manusia ke gerbang
kemajuan teknologi bukan saja pada tataran kemapanan hidup, juga berdampak pada
degradasi moral dan budaya.
Dari masa ke masa, para pakar
teknologi terus berlomba menciptakan penemuan-penemuan, yang awalnya berupa
konsep-konsep dalam masyarakat tradisional pada masa itu, yang notabenenya
masih merupakan “komunitas wujud” (persepsi masyarakat, tentang jagad raya
adalah bagian dari jiwa manusia yang tidak terpisahkan satu dengan yang lain).
Serta merta, berubah total menjadi gaung rasionalitas yang menempatkan posisi
jagad raya sebagai komunitas diluar manusia yang harus ditaklukkan. Tentu saja
dengan ketajaman “pisau berfikirnya”.
Dalam konteks daerah Nusa
Tenggara Barat khususnya pada pembangunan Islamic Center (IC) yang hangat
dibicarakan bukan saja di forum-forum diskusi warung kopi, juga menjadi pro
kontra diskusi di dunia maya seperti di facebook (fb). Bangunan yang konon menelan
biaya yang fantastis ini oleh sebagian orang dikatakan sebagai suatu yang patut
dibanggakan, sebagian lainnya merasa pembangunan IC sebagai bentuk pencitraan
dari kepala daerah yang berkuasa. Maka IC pada poros ini di jadikan semacam
“senjata” yang mampu menaikkan atau menurunkan citra bahkan juga menggiringnya
ke ranah politik menjelang Pilkada.
Dalam satu tread diskusi di salah
satu forum di fb ada juga yang mengkritisi soal dana pembangunan IC yang
berasal dari pemotongan gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) respon komentar pun
bermunculan ada yang menganggap ini sebagai kebijakan yang berlebihan, ada yang
masih merasa wajar-wajar saja, ada juga yang menilainya dari profesionalitas
sistem pengelolaan. Dan tentu saja ada juga beberapa klarifikasi mengenai batas-batas
“sumbangan” menurut golongan.
Terlepas dari beragamnya pendapat
di atas soal hiruk pikuk pembangunan IC, penulis ingin bercerita tentang
kondisi yang terjadi di lingkungan tempat tinggalnya, di satu komunitas warga
yang dapat dikatakan tak terlalu fanatik pada kepentingan politik siapa yang
berkuasa atas apa. Tetapi pada soal legitimasi citra beragama mereka penting
untuk terlibat sebagai aktor-aktor yang berkontribusi pada pembangunan.
Sebuah bangunan masjid sederhana
yang dibangun dari partisipasi warga, membentuk panitia pembangunan yang
pertama-tama bekerja dengan mengelompokkan warga disekitar dalam klasifikasi
kesejahteraan warga: sangat miskin, miskin, sedang dan kaya. Panitia, melalui
perwakilan warga mengadakan rapat untuk merehab masjid dengan mengkalkulasi
jumlah besaran dana yang akan dihabiskan dikali waktu pengerjaannya dikali
jumlah warga. Apa maksudnya?
Pengelompokan warga ini bertujuan
untuk “menentukan jumlah sumbangan” warga tersebut untuk pembangunan masjid,
melalui rapat warga. Akhirnya diputuskan warga yang tergolong kaya mengeluarkan
limaratus ribu rupiah per tahun, sementara untuk warga dengan tingkat sedang
disepakati dua ratus lima puluh ribu rupiah per tahun. Bagaimana dengan warga
yang masuk dalam kategori miskin dan sangat miskin? Hal ini sempat menjadi
perdebatan pada saat rapat tersebut tak ada keputusan sampai rapat usai.
Solusinya? Panitia mengumumkan hasil rapat dari corong masjid sekaligus meminta
pendapat warga yang tergolong miskin untuk menentukan sendiri jumlah
sumbangannya sesuai kemampuannya, panitia juga memberikan jangka waktu seminggu
untuk menampung keberatan warga atas keputusan soal “jumlah sumbangan” ini.
Seminggu kemudian setelah melalui berbagai masukan dan pendapat dari perwakilan
warga miskin, panitia membebankan satu sak semen per tahun. Dan sumbangan ini
tak ditentukan kapan waktu pengeluarannya.
Namanya Aisah, sehari-hari ia
dipanggil Icoq ia seorang janda yang menghidupi dua orang anaknya dan
sehari-hari bekerja sebagai pedagang bakulan penghasilannya dari berjualan
keliling tak seberapa. Ia mengaku juga panitia masjid memintanya mengeluarkan
sumbangan berupa satu sak semen. Lalu bagaimana cara ia mengumpulkan uang
membeli semen? Ia mengaku dari penghasilannya perhari ia menyisihkan keuntungan
sebesar seribu rupiah dalam celengan. Sehingga menurut perhitungan Icoq satu
sak semen akan ia keluarkan dalam waktu kurang dari tiga bulan. Ketika saya
bertanya apakah sumbangan ini membebaninya? Ia berkata “lamun sekedar sesak
semen jak ndeknne berat lalang setaun, sengaq cemoh ite bedoe masjid” (jika
sekedar satu sak semen itu tidak memberatkan jika pertahun karna kita bahagia/
bangga punya masjid) Spirit yang luar biasa dari seorang Icoq. lalu bagaimana
dengan warga yang tak sanggup untuk mengeluarkan iuran? Dari rapat warga dan
panitia mereka cukup menyumbang dengan tenaga sehingga dibuatkan jadwal yang
berbeda untuk ikut dalam kerja bakti pembangunan masjid ini dengan tidak
menyampingkan jam kerja mereka sebagai buruh tani dan yang lainnya.
Selain iuran pertahun ini, kami
yang mukim di lingkungan itu, juga diminta untuk giliran “menaeq dulang”
(mengantar makanan) bergiliran untuk para pekerja. Makanan seadanya,
sekemampuan kami “mane-mane ite kelaq siaq ketujur” (walaupun sekedar masak
daun turi) kata Halimah alias Imoq yang kebetulan esok harinya mendapat giliran
“menaeq”. Sejauh ini, pembangunan masjid di lingkungan kami dalam tahap
pengecoran dan terus berjalan. Tak ada yang komplain dengan mekanisme ini.
Akan tetapi sikap kritis warga,
praktik-praktik baik juga bagian dari budaya yang harus terus dikembangkan
serta mampu menempatkan dirinya disamping kebanggaan terhadap pembangunan. Cara
kontrol pembangunan masjid yang ada di lingkungan kami dengan panitia rutin
menyiarkan pendapatan kas pembangunan masjid sesaat sebelum sholat jumat
dimulai.
Maka keberadaan media yang ada
seperti forum-forum diskusi bisa dijadikan wadah efektif untuk berbagi
informasi, membangun cara berfikir yang lebih terbuka soal spirit pembangunan
dari kacamata “lain” bukan semata berorientasi sebagai cara kita untuk
menghitung untung rugi. Sehingga perdebatan demi perdebatan pro dan kontra
pembangunan ini, dapat diapresiasi secara bijak sebagai sebuah kontrol warga
untuk pembenahan mekanisme dan kinerja tanpa sinis memandang pembangunan
sebagai sesuatu yang sia-sia.
Cerita di atas, oleh penulis tak
hendak dikaitkan dengan pembangunan IC yang menyoal darimana sumber dana
pembangunannya. Tapi melihat spirit masyarakat untuk membentuk identitas
citranya sebagai satu cara mengkomunikasikan kebanggaannya atas kemampuan warga
membangun sarana ibadah. Sebuah wujud budaya gotong royong yang kelak dapat
dikenang sebagi sejarah, jika kita masih percaya bahwa budaya adalah panglima.
Maya Rahmayanti
http://sejarah.kompasiana.com/2013/03/29/islamic-center-dan-cerita-pembangunan-yang-berbeda-546133.html
0 komentar:
Posting Komentar