Oleh: Abdullah Haidir*
Kita tentu pernah melihat sebuah
lukisan yang indah, katakanlah tentang lukisan sebuah pemandangan. Sering kita
terkesima dan terpana dengan lukisan seperti itu, komentar-komentar takjub dan
apresiasi positif refleks terlontar dari mulut-mulut kita.
Tapi yang patut kita sadari
adalah bahwa sesungguhnya yang membuat menarik bukan sekedar pemandangannya,
tetapi kemampuan orang yang melukiskannya. Dengan objek pemandangan yang sama,
jika dilukis oleh orang yang bukan ahlinya, tentu akan berbeda pula sikap dan
apresiasi kita terhadap lukisan tersebut.
Kehidupan kita ini, pada dasarnya
merupakan ‘pemandangan’ yang akan terekam bak sebuah lukisan. Bolehlah hal
tersebut kita katakan sebagai ‘Lukisan Kehidupan’. Dan kitalah yang telah Allah
tetapkan untuk menjadi pelukis bagi kehidupan kita sendiri. Maka, langkah kaki,
lenggang tangan, lidah yang terucap, sejurus pandangan mata, pendengaran
telinga dan gerak semua organ tubuh kita, tak ubahnya bagaikan kuas yang sedang
menari-nari di atas kanvas kehidupan. Itulah arti dari hari-hari yang kita
lalui dalam kehidupan ini.
Oleh karena itu, kini masalahnya
bukan lagi apakah kita seorang maestro pelukis terkenal macam Picasso dan
Afandi atau bukan, tetapi adalah bahwa -suka atau tidak suka- hasil ‘lukisan’
kita pada akhirnya akan dilihat dan dinilai orang. Kesadaran tersebut jelas
akan mendorong naluri kita untuk berkata bahwa ‘lukisan kehidupan’ saya harus
terlihat indah dipandang. Dan, selama kesempatan 'melukis' itu masih diberikan,
kita masih diberi kebebasan berekspresi untuk memperindah lukisan kehidupan
kita; meluruskan guratan-guratan yang kurang harmonis, memperjelas sapuan warna
yang buram, mengarahkan segmen gambar yang tak terarah, dst.
Hingga akhirnya, ketika mata ini
terpejam dan nafas terakhir telah dihembuskan, itulah saatnya lukisan kita
telah usai, lalu dibingkai, dan kemudian siap dipajang di ‘ruang depan rumah
kita’. Ketika itu pula kita tinggal menunggu bagaimana komentar orang-orang
yang melihat lukisan kita yang secara refleks –tanpa basa basi dan formalitas-
akan terlontar dari mulut-mulut mereka. Bagaimana reaksi dan apresiasi yang
akan mereka berikan, tentu sangat tergantung dengan kualitas lukisan yang
terpampang.. Di situlah salah satu parameter kehidupan kita sedang ditentukan.
Suatu saat para shahabat melihat
jenazah yang sedang digotong, lalu mereka memuji kebaikannya, maka Rasulullah
saw bersabda, ‘pasti.’ Kemudian lewat lagi jenazah yang lain, lalu mereka
menyebut-nyebut keburukannya, Beliau bersabda, ‘Pasti.’ Umar bin Khattab
bertanya, ‘Apanya yang pasti wahai Rasulullah?’ Beliau bersabda, “Yang kalian
sebutkan kebaikannya, pasti masuk surga, sedangkan yang kalian sebutkan
keburukannya pasti masuk neraka. Kalian adalah saksi-saksi Allah di muka bumi
ini.” (Muttafaq alaih)
Seorang penyair berkata,
Innamal mar’u hadiitsu man ba’dahu
Fa kun hadiitsan hasanan liman wa’aa
[Seseorang akan menjadi
pembicaraan orang-orang sesudahnya,
Maka jadilah bahan pembicaraan
yang baik bagi orang yang mendengarnya.]
0 komentar:
Posting Komentar