Berbagai ungkapan tradisional
yang diinventarisir ini, mengandung unsur ajaran yang bermakna. Pada setiap
ungkapan, selalu disajikan cerita rekaan untuk memperjelas maknanya. Cerita,
diketengahkan secara fiktif. Tidak ada niat untuk mengisahkan kisah seseorang
dalam nama tokoh. Ini terungkap secara kebetulan dan tidak disengaja. Berikut
beberapa ungkapan tradisional suku Sasak.
Adeq te tao jauq aiq (Supaya kita
dapat membawa air):
Ungkapan ini mengandung makna
bahwa, dalam suatu perselisihan/pertengkaran yang memanas, kita mampu menjadi
pendingin. Dalam ungkapan ini pula, diumpamakan sebagai pembawa air, karena air
memiliki sifat pembunuh api. Jika suatu pertengkaran menjadi panas diumpamakan
seperti api, maka airnya adalah orang yang memberi nasihat, sehingga mereka
yang sedang panas hati karena bertengkar menjadi dingin.
Untuk memperjelas, disajikan
cerita rekaan: Icok dan Imok sedang bertengkar ramai sekali, disaksikan
beberapa teman. Pertengkaran itu muncul karena, Icok dikira telah merebut pacar
Imok. Pada saat mereka bertengkar, kemudian lewatlah Inaq Minok. Setelah
mengetahui duduk persoalannya, Inaq Minok kemudian menasihati kedua gadis itu.
“Dik Icok dan Imok, pertengkaran ini hanya salah faham dan praduga. Untuk itu
kalian supaya rukun kembali dan saling memaafkan”. Rupanya nasihat Inaq Minok
dapat dipahami kedua gadis yang baru saja usai bertengkar. Keduanya langsung
menjadi dingin dan akhirnya saling memaafkan.
Dalam contoh cerita di atas, Inaq
Minok disebut tao jauq aiq, bisa membawa air yang mendinginkan suasana panas
karena pertengkaran.
Asaq ngompal bawon aiq (Batu asah
terapung di atas air):
Ungkapan ini menggambarkan suatu
pengharapan yang tidak mungkin terpenuhi, karena keadaannya memang tidak
memungkinkan. Hal ini tampak dari penggunaan perumpamaan batu asah. Benda ini
jelas tidak mungkin terapung di atas air, tapi harus tenggelam karena berat.
Ungkapan ini ingin menggambarkan
suatu perbuatan yang sia-sia. Orang yang mengerjakan suatu yang tidak sesuai
dengan keadaan, baik berupa materi, kecakapan, pangkat dsb. Ungkapan ini
memilih perumpamaan dengan batu asah, sebab pada masyarakat pedesaan, asah
merupakan peralatan kebutuhan sehari-hari mereka. Biasanya setiap rumah punya
asah, dan untuk memelihara asah ini biasanya direndam dalam air. Dan pasti
tenggelam, tidak ada yang mengapung.
Contoh cerita rekaan:
Amaq Iying, seorang buruh tani,
tinggal disebuah desa. Penghasilannya sangat kecil. Untuk memberi makan keluarganya
yang berjumlah lima orang, ia sering kekurangan, apalagi kebutuhan lainnya
seperti sandang. Soleh, anak sulung Amaq Iying sudah menjadi remaja dan
pergaulannya luas, terutama dengan anak-anak orang mampu. Karena pergaulan
seperti itu, Soleh bergaya seperti anak orang mampu baik cara berbusana dan
gaya hidupnya berpoya-poya. Orang tuanya sering dipaksa memenuhi kebutuhannya.
Karena sayang anak, Amaq Iying memenuhi kebutuhan Soleh, meskipun dengan cara
susah payah. Akhirnya, Soleh juga minta dibelikan sepeda motor. Mendengar
permintaan yang berlebihan itu, si ayah terkejut. Mana mungkin orang tua yang
miskin papa itu bisa mengabulkan permintaan Soleh. Pertengkaran pun terjadi.
Seorang tetangga yang mendengar
peristiwa itu berkomentar seputar permintaan Soleh dengan ungkapan: “Asaq
ngompal bawon aiq”. Sangat mustahil.
Bareng anyong jari sejukung (Bersama-sama lebur jadi seperahu):
Ungkapan ini mengandung makna
senasib sepenanggungan. Di sini digunakan perumpamaan seperti orang dalam satu
perahu. Kalau perahu itu mengarungi lautan, maka orang-orang dalam perahu itu
akan senasib sepenanggungan. Apa yang dialami selama mengarungi lautan, akan
ditanggulangi bersama.
Ungkapan ini biasanya ditujukan
sebagai nasihat dalam berumah tangga atau hidup bermasyarakat. Untuk
memperjelas, disajikan cerita fiktifnya: Maman dan Mimi adalah sepasang suami
istri. Awalnya mereka hidup rukun dan bahagia, namun belum sampai setahun
berumah tangga, cobaan terus menimpa. Mimi sering sakit dan memerlukan
pengobatan. Untungnya Mimi tekun mencari nafkah untuk hidup mereka. Tapi Maman
belum dapat pekerjaan tetap, hidup mereka menjadi serba susah. Makan sehari pun
kadang susah diperoleh. Kesulitan mereka semakin parah, karena Maman tidak mau
berusaha mengatasi kesulitan rumah tangganya. Pertengkaran pun tidak bisa
dielakkan.
Hal ini diketahui oleh mertua
Mimi, orang tua Maman : “Sekarang kalian sudah menjadi suami istri. Artinya,
kalian berdua harus membangun rumah tanggamu sendiri secara bahu membahu. Susah
senang harus dirasakan dan ditanggulangi bersama. Seperti kara orang sasak,
bareng anyong jari sejukung” Mendengar nasihat itu, suami istri itu akhirnya
menyadari kekeliruannya dan berjanji untuk membina, mengatasi bersama segala
kesulitan.
Bodo-bodo tokoq, belok nyenyedaq (Bodoh-bodoh tokoq (jenis ikan), bodoh
merusak):
Kelihatannya bodoh, tapi
kebodohannya itu merusak. Ungkapan ini mengandung makna bahwa, anak yang
tampaknya bodoh dan pendiam, tapi ternyata tidak patuh pada orang tuanya.
Dalam ungkapan ini, sifat seperti
itu diumpamakan sebagai ikan tokoq. Ikan tokoq adalah sejenis ikan air tawar.
Ikan ini sangat jinak, bisa ditangkap dengan mudah. Tapi ikan ini bisa melukai
karena senjata pada siripnya. Ia juga memiliki kulit yang licin.
Ungkapan ini biasanya ditujukan
kepada anak gadis yang kelihatan pendiam, tapi ternyata tak patuh kepada orang
tuanya. Bisa juga ditujukan kepada orang yang pendiam dan tampak penurut, tapi
melakukan perbuatan yang menyulitkan orang tuanya.
Untuk memperjelas ungkapan ini,
disajikan cerita : Haji Dullah mempunyai anak gadis bernama Fatimah dan suka
pendiam dan pemalu. Karena itulah orang tuanya mencarikan jodoh untuknya. Orang
tuanya menginginkan jodoh dengan seorang pemuda yang taat beribadah, berbudi pekerti
baik, memiliki pekerjaan tetap dan bertanggung jawab. Alhasil Fatimah
dikawinkan dengan seorang misan dan tak ada kesulitan keluarga kedua belah
pihak untuk mengawinkan kedua remaja itu. Namun tak disangka, Fatimah merariq
(kawin lari) dengan seorang pemuda lain pilihannya sendiri. Orang tuanya sangat
kaget setelah mengetahui Fatimah merariq dengan seorang pemuda pengangguran dan
akhlaknya tidak baik.
Orang sekampung yang mengetahui
kejadian itu mengatakan, sifat Fatimah yang pendiam dan pemalu berkomentar :
“Iya aran kanak bodo tokoq, belok nyenyedaq” artinya, itu namanya anak bodoh
bodoh tokoq, tapi merusak. Ungkapan ini mengandung ajaran, seorang anak pada
dasarnya harus patuh kepada orang tua.
Endaq ampahang simbur paleng (Jangan remehkan lele pingsan):
Ungkapan ini mengandung makna,
jangan meremehkan hal-hal yang nampaknya sepele, tapi harus selalu waspada.
Dalam ungkapan ini diumpamakan sebagai lele pingsan. Lele adalah jenis ikan
yang memiliki pantek/saeng. Lele yang pingsan, jangan dianggap tidak berbahaya,
sebab sewaktu-waktu bisa sadar lalu menyengat/memantek. Ungkapan ini sebagai
nasihat, agar kita selalu waspada. Untuk jelasnya, disajikan cerita rekaan :
Pak Jemang memiliki sawah yang
cukup luas. Untuk mengerjakannya memerlukan pembantu. Ia lalu mengajak Sidik,
seorang pemuda pengangguran dan sering keluar masuk penjara karena kasus
mencuri. Maksud Pak Jemang, agar Sidik punya pekerjaan dan kesibukan. Dengan
pekerjaan dan penghasilannya itu, Sisik bisa bertaubat dan menjadi orang
baik-baik.
Saat itu pula seorang tetangga
yang kebetulan lebih tua dan berpengalaman menasihati Pak Jemang: “Endaq
ampahang simbur paleng” Mendengar nasihat tersebut, tahulah pak Jemang bahwa ia
harus waspada. Walaupun nampaknya Sidik orang baik-baik, tetapi tetap harus
waspada.
Ungkapan ini mengandung ajaran,
agar kita selalu waspada, lebih-lebih kepada orang-orang yang sudah kita kenal
tabiatnya kurang baik.
Ulah mandi isiq bisana (Ular bertuah oleh bisanya (racunnya):
“Ular bertuah oleh bisanya”,
ungkapan ini mengandung arti bahwa, seseorsng itu berharga atau berguna karena
ilmunya. Dalam ungkapan ini diumpamakan sebagai ular dengan bisanya. Makin
keras bisa ular, makin ditakuti. Maksudnya makin berilmu seseorang, makin
dihargai dan disegani.
Ungkapan ini biasanya digunakan
untuk melukiskan seseorang yang disegani dan dihargai karena kepandaiannya,
untuk dapat dijadikan contoh dan anak-anak muda yang sedang dalam usia menuntut
ilmu.
Untuk jelasnya, disajikan cerita
: Ali, seorang pemuda. Di desa tempat tinggalnya, ia banyak membantu kepala
desa dalam usaha membangun desanya. Kepada orang-orang tua, Ali selalu menaruh
hormat. Banyak warga desa yang senang dan berkunjung ke rumahnya untuk
menyatakan berbagai hal. Dalam setiap kesempatan musyawarah desa, Ali selalu
diundang untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat. Ini disebabkan karena
Ali pemuda yang berpendidikan dan banyak pengetahuan, sehingga mampu memberikan
sumbangan pikiran kepada masyarakat. Karenanya orang-orang tua pun menghargai
dan menaruh hormat kepadanya. Kemampuan Ali yang demikian itu digambarkan
sebagai Ulah mandi isiq bisana.
Menurut ilmu, untuk meningkatkan
martabat manusia adalah salah satu nilai kemanusiaan yang perlu dijunjung
tinggi.
Demikian beberapa ungkapan
tradisional suku Sasak. Masih banyak lagi ungkapan lain yang belum tersaji.
Pada kesempatan lain akan dibahas lagi. Semoga!
Oleh : Lalu Pangkat Ali
Sumber: sasak.org
0 komentar:
Posting Komentar