Ketika memberikan ceramah di
masjid Salman ITB di awal tahun dua ribuan, Adi Sasono memaparkan tentang arti
politik dalam wujudnya yang paling sederhana. Dengan ilmu yang dikuasainya,
para insinyur dituntut untuk membangun sebuah jembatan dengan resource yang ada
dan hasil yang maksimal. Jembatan berbiaya murah, tahan lama, kuat, kekar, anti
gempa, tahan arus deras dan seterusnya. Tapi jembatan seperti apa dan di mana
di bangun ada di tangan penguasa. Jika ada dana beasiswa, semua orang yang
memenuhi kualifikasi punya peluang menerimanya, tapi penerima sesungguhnya
diputuskan oleh pemegang kuasa. Sebagai bahan bakar pembangunan, pemerintah
mengutip pajak dan berkuasa terhadap bagaimana, dimana dan kepada siapa
penyalurannya.
Ketika kekuasaan dipegang penuh
oleh satu orang disebut tiran atau tirani. Jika yang memegangnya hanya
sekelompok kecil (minoritas) masyarakat – biasanya kelompok berada (borjuis),
bangsawan atau keluarga raja- lazim disebut tirani minoritas. Namun yang banyak
dianut dan diagung-agungkan saat ini adalah kekuasaan yang terbagi rata di
tangan semua orang dengan porsi yang sama, yang dikenal dengan demokrasi.
Demokrasi, dikembangkan sebagai anti-tesis dari pemusatan kekuasaan pada
segelintir orang (tirani minoritas), namun jika tidak dilaksanakan secara
elegan akan menghasilkan sebaliknya, tirani majoritas dimana kelompok majoritas
berkuasa penuh terhadap kelompok minoritas.
Gelagat politisasi etnis
Menjelang pemilihan kepala daerah
langsung (pilkadal) gubernur NTB, para calon bersama tim sukses, berkonsolidasi
dan mengatur strategi memenangkan sayembara Pilkadal. Mendadak, mereka jadi
rajin silaturahmi dan bangun afiliasi di sana-sini. Tiba-tiba kita disuguhkan
dagelan membonceng organisasi, tuan guru dan para kyai. Lebih parah lagi,
tulang-belulang para pendahulu digali sehingga ada yang mengaku-ngaku sebagai
trah priyayi, mengungkit-ungkit nama dan memajang gambar ulama besar yang sudah
mati. Di atas semua itu, adalah isu premordialisme yang memainkan isu kesukuan
secara berlebihan.
Menurut analisa ahli komunikasi
dan politisi, AM Badrun dan Kholid Karyadi exploitasi mengenai isu
premordialisme ini merupakan sebuah keniscayaan pada pilkadal mendatang. Hal
ini secara kuat didukung oleh pengalaman historis sejak system pemilihan
langsung diterapkan baik oleh DPR provinsi maupun melalui Pilkadal. Pengakuan
Musa Shofiandy (1) mengenai lobi-lobi internal dan pandangannya mengenai
urgensi pemimpin dengan sasak (keturunan suku sasak lombok) menjelang
terpilihnya Lalu Serinate sebagai gubernur NTB periode 2004-2008 bisa dijadikan
acuan awal. Ada premis bahwa gubernur NTB haruslah sasak, karena sasak
merupakan etnis mayoritas. Kesukuan (baca primordialisme) menjadi dasar
pemikiran utama. Di pilkadal berikutnya (2008), isu primordial kurang tampak
karena semua calon gubernur orang sasak, namun diprediksi akan mengemuka dan
tak terhindarkan di pilkadal mendatang (Mei 2013). Menurut analisa Kholid
Karyadi, paling tidak tiga etnis terbesar di NTB (sasak, samawa dan mbojo) akan
diwakili oleh masing-masing calon: Zainul Majdi dan Suryadi Jaya Purnama
(sasak), Zulkifli Mahali (samawa) dan Harun Al Rasyid (mbojo).
Tidak terbantahkan lagi bahwa isu
primordial ini merupakan faktor utama pemecah persatuan. Faktanya, banyak
negara yang terbentuk dan juga berpecah-belah berdasarkan kesamaan dan
perbedaan etnis. Bahkan kini, beberapa negara maju seperti Spanyol dan Belgia
terancam integrasinya karena isu primordialisme. Etnis minoritas (katalan,
Bosque) di Spanyol dan Flemish di Belgia merasa diperlakukan tidak adil
sehingga punya niat (sudah melakukan gerakan politik) untuk memisahkan diri.
Isu ini juga sangat krusial dalam
proses pembentukan Negara Kesatuan Indonesia yang terdiri dari lebih 400 etnis
berbeda, hingga Soekarno mencetuskan gagasan menggunakan Pancasila sebagai
unsur pemersatu. Kesatuan Indonesia kemudian dijaga dan dipertahankan dalam
sebuah doktrin nasional Wawasan Nusantara. Wawasan Nusantara adalah cara
pandang dan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan bentuk geografinya
berdasarkan Pancasila dan UUD (Undang – Undang Dasar) 1945. Dalam
pelaksanaannya, wawasan nusantara mengutamakan kesatuan wilayah dan menghargai
kebhinekaan untuk mencapai tujuan nasional (3). Konsekuensinya, memainkan isu
primordial melanggar hukum paling dasar negara Indonesia dan berpotensi memicu
disintegrasi. Jika ada pasangan calon memainkan isu ini, artinya mereka
melanggar hukum.
Meskipun tidak tampak jelas di
permukaan, isu primordial itu telah lama berpusar terutama di lingkungan
pegawai negeri sipil di NTB. Kriteria etnis sering kali dikedepankan di atas
kualitas dalam hal penentuan/promosi jabatan. Bahkan di universitas (kalangan
dosen Universitas Mataram) sebagai institusi yang seharusnya paling netral dan
objektif sekalipun, faksi-faksi kesukuan subur berkembang. Meskipun konsep
wawasan nusantara telah didoktrinkan dalam beragam cara dan upaya (pendidikan
pancasila dan kewarga-negaraan), bibit-bibit primordial masih tetap ada dan
menjamur di masyarakat, meskipun masih pada level yang dapat ditolerir dan
belum mengancam integrasi bangsa.
Namun demikian, dampaknya akan
secara sporadik meluas jika dimainkan sebagai isu dalam kampanye pilkadal.
Terlebih lagi di NTB yang notabene terbentuk dari tiga suku besar, sasak,
samawa dan mbojo yang di pilkadal mendatang masing-masing memiliki representasi
calon gubernur. Sangat besar kemungkinan isu etnis ini dimainkan. Sebagai bukti
awal, Zulkifli Mahali kini sudah memproklamasikan diri di media masa, memiliki
darah biru sasak. Dia mengaku sebagai salah satu keturunan raja pejanggik (2).
Ini tentunya merupakan langkah untuk menarik simpati dari masyarakat sasak.
Namun bisa juga jadi bumerang yang menjatuhkan dirinya sendiri. Pada skala yang
lebih kecil, organisasi sosial keagamaan kini sudah berganti kulit menjadi
underbow partai atau calon gubernur. Yayasan-yayasan pondok pesantren, terutama
Nahdatul Wathan, secara lantang mewartakan keberpihakannya kepada calon
tertentu, yang tentunya sekaligus bertujuan untuk memolarisasi keberpihakan
jamaahnya.
Kampanye dan biayanya
Tak ayal lagi, ongkos penegakan
demokrasi sangatlah besar. Ongkos ini secara langsung membebani APBN melalui
anggaran pilkadal KPU dan membebani kontestan. Keberanian para kontestan
mungucurkan biaya sedemikian besar sungguh tidak masuk akal, karena tidak
sejalan dengan aritmatika biasa. Pasangan calon bisa menganggarkan puluhan
hingga ratusan milyaran rupiah untuk dana kampanye mereka, padahal yang akan
didapat (gaji, tunjangan dan biaya operasional) jauh lebih kecil dari itu.
Belum lagi sejumlah mahar yang harus diberikan kepada partai pengusung.
Akibatnya, kontestan mau tidak mau harus menang dengan cara apapun (win at all
costs). Pada kondisi ini, sudah tidak
jelas lagi batas antara halal-haram, tunduk-atau-melanggar hukum dan
beradab-atau-biadab. Sudah jamak kita lihat kampanye hitam menjamur di
mana-mana. Isu-isu yang tidak relevan secara langsung terhadap kapasitas memimpin
seorang calon seperti jumlah istri , garis keturunan, suku, asal dll., menjadi
objek pewacanaan. Di lain pihak, informasi mengenai kapasitas calon disaring
sedemikian rupa sehingga tidak diinformasikan apa adanya (politik pencitraan
melalui media). Pencitraan ini bak kacamata kuda yang secara jeli mengarahkan
pandangan kita pada hal-hal tertentu hanya tertuju pada yang mereka ingin
perlihatkan. Yang paling berbahaya adalah jika isu premordial kesukuan
digunakan, terlebih lagi karena masing-masing tokoh suku/etnis terbesar di NTB
memiliki keterwakilan.
Terjadinya politisasi etnis ini
bisa jadi takterhindarkan, seperti di masa lampau dan juga seperti yang
diprediksikan para pengamat politik. Namun bukan berarti kita lantas diam dan
berpangku tangan. Kondisi seperti inilah yang sesungguhnya menguji sejauh mana
ketulusan hati dalam bersikap. Kita harus memiliki kerangka berpikir yang tepat
sehingga tidak terjebak dalam perangkap politisasi primordialisme, baik suku,
geografis maupun organisasi.
Pijakan terakhir
Kampanye sejatinya merupakan alat
yang diberikan kepada para kandidat untuk memperkenalkan diri, dan
mensosialisasikan rencana kerja dan target-target yang akan dicapai. Di masa
ini, latar belakang dan rekam-jejak para kandidat disingkap agar terlihat jelas
oleh masyarakat. Dengan demikian, masyarakat jadi benar-benar mengetahui profil
kandidat yang dipilihnya. Sayang sekali, momen ini sering disalah-gunakan oleh
oknum-oknum yang kurang bertanggung jawab. Daripada secara tulus memberikan
informasi yang sahih, tidak sedikit yang justru melakukan kampanye hitam dengan
membeberkan keburukan rival mereka. Informasi disaring sedemikian rupa sehingga
menjadi bias. Tokoh-tokoh masyarakat “dibeli” pengaruhnya sehingga tidak dapat
lagi digunakan sebagai rujukan yang efektif. Yang tersisa adalah diri kita
sendiri yang sepenuhnya bergantung kepada pikiran jernih dan hati nurani.
Tirani mayoritas
Meskipun demokrasi meredistribusi
kekuasaan pada setiap anggota masyarakat, eksekusinya dilakukan melalui
pemberian mandat kepada pemimpin yang mereka pilih. Karena sangat sulit mendapatkan pemimpin yang terpilih secara
aklamasi, maka seringkali pemimpin ditentukan berdasarkan suara mayoritas (50+1
%), bahkan kini cukup suara terbanyak di atas 30%. Sebagai bentuk politik etis
(balas budi), tentu saja pemimpin yang terpilih akan cenderung memihak kepada
kepentingan pemilihnya. Konsekuensinya, kekuasaan akhirnya menjadi milik
mayoritas (tirani mayoritas). Hal ini tidak berhenti sampai disini. Kecemburuan
sosial menjadi tak terhindar, dan selanjutnya menjadi bibit-bibit disintegrasi.
Jika kita tidak menghentikan politisasi etnis ini, maka sungguh kita laksana
bermain api. Menang jadi arang, kalah jadi abu. Jika kini, isu pembentukan
provinsi pulau sumbawa teredam oleh gaung pilkadal, sebentar lagi gemuruh
perpecahan akan menggelegar jika kita lepas-tangan dari politisasi isu
primordial.
Oleh karena itu, KPU sebagai juri
dalem sayembara perebutan tahta gubernur ini harus adil. Tindak tegas yang
melakukan kecurangan tanpa pandang bulu. Masyarakat harus melek situasi dan
jangan mudah terprovokasi. Kita harus meyakini, hal-hal yang baik di masa depan
harus dibangun dengan cara yang baik di masa kini. Pemimpin yang amanah dan
adil ditampuk melalui jalan yang bersih dan lurus. Rakyat yang luhur akal budi
dan nuraninya, memilih pemimpin yang merepresentasikan keluhuran budi mereka.
Wallahu a’lam
Leuven
5 April 2013
Muhammad Ro’il Bilad
Referensi
Sumber: [Sasak.Org]
0 komentar:
Posting Komentar