Lotim – Dalam kegiatan kampanye dialogis yang dilakukan Calon
Gubernur Suryadi Jaya Purnama (SJP) di Kabupaten Lombok Timur pada selasa
(30/4), tidak sedikit dari masyarakat yang mempertanyakan kebijakan pemerintah
provinsi NTB terkait dengan kesejahteraan petani tembakau di Lombok.
Terkait dengan hal tersebut, SJP
megatakan bahwa untuk menyelesaikan persoalan tersebut, kita harus mengetahui
latar belakang apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa harga rokok dari tahun ke
tahun selalu naik, tapi harga tembakau malah semakin turun?
Memang, di satu sisi kita juga
tidak memungkiri bahwa 70% kebutuhan tembakau Indonesia masih dipenuhi oleh
tembakau import dari India, Thailand dan lain-lain. Tapi hal itu tidak menjadi
alasan bagi pemerintah untuk tidak memperhatikan kondisi petani tembakau di
Indonesia, secara khusus lagi di Lombok.
Dalam hal ini, SJP secara tegas
mengatakan bahwa kondisi para petani tembakau di Lombok saat ini tidak lepas
dari kesalahan Gubernur NTB dalam menentukan kebijakan yang terkait dengan
tembakau. "saya tidak bisa menyalahkan orang lain, karena Gubernur yang
mengirim surat dan menandatangani surat-surat itu. Dan kami di legislatif tidak pernah dimintai pendapat terkait dengan kebijakan-kebijakan itu" ungkap Suryadi.
SJP mengungkapkan setidaknya ada
4 kesalahan Gubenur dalam pengolaan tembakau virginia di Lombok. Pertama, ada peraturan yang
ditandatangin oleh Gubernur yang menyatakan bahwa open tembakau itu sebagai
industri menengah. Yang namanya industri menengah, dia tidak bisa mengunakan
BBM bersubsidi. Padahal kenyataannya open tembakau adalah industri kecil, industri
rumah tangga yang sangat layak mendapatkan bantuan subsidi BBM.
"Oleh karena itu, kalau saya
terpilih sebagai Gubernur, saya akan mengirim surat ke pemerintah pusat agar
mengembalikan subsidi BBM untuk para petani tembakau" ungkap Suryadi yang
disambut tepuk tangan oleh warga.
Kedua, waktu ada kebijakan dari Jusuf Kalla untuk mengkonversi
bahan bakar minyak ke energi alternatif. Pak Gubernur terlalu semangat merespon
hal itu dengan mengirim surat yang menyatakan Lombok siap mengkonversi BBM ke
energi alternatif. "jika bapak/ibu mau lihat suratnya, itu ada" tegas
Suryadi.
Memang uji coba menggunakan batu
bara itu pernah disimulasikan, saya juga menyaksikan, hasilnya bagus. Tapi
waktu itu uji cobanya menggunakan batu bara kualitas yang bagus, kalorinya
6000. Sementara kualitas yang dipakai di lapangan tidak seperti itu.
Harusnya Pak Gubernur menguji
dulu minimal dua tahun baru mengeluarkan kebijakan. Jangan buru-buru. “Ini
belum jelas penerapannya di lapangan sudah kirim surat ke pusat” jelas Suryadi.
Selanjutnya, kesalahan ketiga Gubernur tarkait dengan Dana
Bagi Hasi Cukai Tembakau (DBHCT). Cukai hasil tembakau itu jumlah keseluruhan
di Indonesia totalnya 72 Trilliun. Dalam UUD, 2% dari DBHCT dibagikan ke
daerah-daerah penghasil tembakau, yang jumlahnya 1,4 Trilliun.
Pada waktu rapat di kementrian
keuangan, tidak ada perwakilan eksekutif dari Pemprov NTB yang datang, Jatim
mengutus Sekdanya, semua daerah mempunyai utusan dari eksekutif, bahkan Maluku
yang tidak menghasilkan tembakau datang. Akibatnya kita tidak punya posisi
diplomasi yang kuat, akhirnya NTB hanya kebagian 130 Milyar.
Padahal seharusnya kita dapat
400-500M. Karena dari data kementrian perdagangan dan pertanian, 64% produksi
tembakau di Indonesia ada di Lombok. Dan kualitas tembakau yang terbaik juga
ada di Lombok.
Salahnya lagi, oleh Gubernur dana
itu dibagi ke semua Kabupaten. Harusnya cuma untuk Lotim dan Loteng, karena
mereka daerah penghasil tembakau. Salahnya lagi, ada sebagian dana tersebut
yang dialokasikan untuk pembangunan gedung bersama.
Dan yang terakhir yang keempat, dalam pemasarannya grade
tembakau dibuat terlalu banyak, ada 30-40an. Di satu sisi petani tidak pernah
tau grade-grade itu. Hal itu kemudian membuat pengusaha bebas memainkan harga.
“Sekali lagi saya tidak ingin
mencari-cari kesalahan, tapi itulah fakta yang selam ini terjadi” jelas
Suryadi. Karena 4 ksalahan itu, petani-petani tembakau setelah panen ke Makkah,
sekarang malah ke Malaysia. Dulu jalan-jalan ke kebun kurma, sekarang
jalan-jalan ke kebun sawit.
Atas dasar itulah, ke depan semua
program dan kebijakan yang terkait dengan pembangunan di masyarakat harus
bersumber dari bawah. “Jika petani masih membutuhkan Minyak Tanah dalam
pengomprokan tembakau, maka pemerintah harus berupaya dengan maksimal untuk
memenuhi kebutuhan tersebut.
"Tidak boleh seorang
pemimpin itu bertindak sebagai Superman yang serba bisa dan serba tau. Mengambil kebijakan sendiri tanpa melibatkan semua elemen. Semua
harus dibicarakan bersama agar tidak salah sasaran" pungkas Suryadi.
0 komentar:
Posting Komentar