Mungkin sebagian besar kita
adalah tipikal pemuda yang berpikiran simple. Kuliah, kerja, menikah, punya
anak, punya cucu, dan mati. Jarang ada pemuda yang berpikir kemana masa depan
negara ini akan kita bawa. Kayaknya terlalu berat perihal itu untuk
pemuda-pemuda kita. Namun ternyata itu bukanlah hal yang sulit dan rumit bagi
pemuda karena semuanya tak sesulit yang dibayangkan, seperti Bill Gates yang
memulai kerajaan bisnisnya dari dalam sebuah garasi, sesimpel itulah sebuah
tujuan besar. Sayangnya, hal yang rumit dan sulit itu adalah komitmen, mudah
diucap, sulit dijalankan.
Berapa tahun kita halaqah? Satu
dua atau tiga? Atau tiga belas tahun atau lebih? Hanya komitmen yang membuat
kita bertahan. Dan komitmen biasanya bertahan sesuai tingkat husnudzannya
kepada jamaah. Satu atau dua kali clash mungkin akan membuat kita rapuh, namun
tingkat toleransi terhadap kebaikan yang telah diberikan bertahun-tahun harus membuat
kita lebih kuat. Mungkin saja ada oknum yang berbuat kesalahan, tapi bukankah
keluarga itu tetap kita anggap keluarga walaupun terkadang melakukan kesalahan.
Berapa banyak anggota keluarga sedarah dan keluarga besar kita yang melanggar
hukum islam seperti tidak memakai jilbab, melakukan pacaran, dan sejenisnya
tetapi kita masih bisa menganggap mereka keluarga. Karena sangat tak enak
rasanya bila suatu saat kita yang melakukan kesalahan dan mereka tidak
menganggap kita sebagai keluarga lagi.
Sebagian aktifis dakwah mempunyai
semangat idealisme yang supertinggi ketika kuliah. Setelah tamat kuliah kita dihadapkan dengan masalah baru,
yaitu kemajemukan masyarakat. Kecerdasan berpikir harus diandalkan disini.
Tidak bisa main vonis dan langsung menjauh. Seperti kata orang bijak, lebih
baik menyalakan obor daripada mengutuk kegelapan. Ada hal-hal yang harus
sedikit kita bedakan dengan dunia kampus, sehingga tak ada ucapan lagi “si
fulan sudah berubah”. Menjadi “orang pintar” itu sangat mudah, tapi menjadi orang
pintar dan cerdik tak semudah dibayangkan.
Pertama ketika terjun ke
kerumunan masyarakat, kita akan dihadapkan dengan frame yang berbeda-beda. Kita
harus melonggarkan syarat-syarat interaksi yang agar tujuan lebih mudah
dicapai. Tujuan yang besar terkadang harus dicapai dengan mengorbankan hal-hal
kecil. Jangan berkeluh kesah tentang taman rumah yang tidak rapi, tapi padamkan
api besar yang sedang melahap rumah.
Apapun profesi kita, tetap harus
ada waktu untuk dakwah. Sisakan waktu, bukan waktu sisa. Dengan menjadi pegawai
kita menjadi dai di kantor, dengan menjadi pedagang kita menjadi dai bagi
relasi bisnis dan konsumen, begitupun dengan profesi lainnya. Kerja efektif
amat diperlukan dengan waktu yang singkat, mengingat terkadang kesibukan kita
di tempat kerja menyita waktu yang tidak sedikit. Tidak boleh iri dengan
profesi karena Allah sudah mentakdirkan manusia berbeda-beda rezekinya dan
berbeda-beda kemampuan dan bidangnya. Dan komitmen itu akan tumbuh sendiri
manakala intensitas “charging” ruhiyah kita tetap intensif. Dengan kualitas
halaqah kita yang berbeda-beda, jangan pernah berharap terlalu tinggi, misalnya
halaqah harus dengan para ulama-ulama. Seharusnya peningkatan ruhiyah dalam
halaqah itu standar paling minimal cukup dengan berhadapan, bertemu, melingkar.
Karena itulah arti sebenarnya halaqah, pertemuan dengan saudara yang
meningkatkan iman dan dijanjikan syurga, insyaAllah.
Analogi komitmen itu seperti
mengayuh sepeda. Kita tetap akan bisa menjalankan sepeda selama kita
mengayuhnya. Ketika kita tidak mengayuh, maka sepeda kita hanya akan berjalan
beberapa meter setelah itu berhenti. Nah, jamaah kita seperti sepeda beroda
banyak, setiap orang harus berkontribusi untuk mengayuh. Kalo tidak rajin
mengayuh maka akan digantikan dengan yang lebih rajin mengayuh, karena generasi
yang malas mengayuh itu istilah kasarnya seperti pangkhianat, dia bertepuk
tangan ketika menang dan menyumpahserapah ketika kalah. []
Mirza Husni
Tim Media PKS Bandung
0 komentar:
Posting Komentar