Serta merta ia berteriak..! “Demi Allah, kita tidak akan kembali sehingga
kita sampai di lembah Badar, dan kita dirikan kemah selama 3 malam, kita akan
potong unta, kita akan makan-makan dan minum khamr sedang para biduan bernyanyi
di hadapan kita, sehingga semua orang Arab mendengar tentang kita dan
keberadaan kita lalu mereka senantiasa takut terhadap kita”
Semua pakar sirah nabawiyyah
mengatakan bahwa ungkapan Abu Jahal di atas adalah ungkapan penuh sombong dan
kepongahan. Keinginannya hanya satu, terus berperang agar dapat membinasakan
Nabi Muhammad dan para pengikutnya, terlebih rasa malunya yang luar biasa
akibat lolosnya Nabi dari kepungan para pemuda bayaran saat ingin membunuhnya
sebelum berangkat ke Madinah.
Namun ada potongan kalimat Abu
Jahal yang sangat menunjukkan kesombongannya saat ia mengatakan:
“Sehingga semua orang Arab
mendengar tentang kita dan keberadaan kita lalu mereka senantiasa takut
terhadap kita”.
Sebuah ungkapan yang penuh dengan
keinginan mengalahkan musuh-musuhnya, ya, itulah ungkapan perang urat syaraf,
perang yang sesungguhnya belum dimulai, tapi mengalahkannya harus sudah
dimulai.
Dan begitulah sifat media,
keberadaannya jauh lebih ampuh dari semua jenis senjata mematikan yang ada saat
ini. Daya jelajahnya mampu menembus semua benua yang ada di dunia. Untuk
menghancurkan sebuah keluarga tak perlu menyuruh orang bayaran untuk mendatangi
rumahnya. Untuk merusak tatanan masyarakat tak perlu mengirim pasukan. Untuk
memporakporandakan bangunan negara tak perlu membuat perang dunia ke tiga.
Semuanya cukup dengan sebuah
senjata saja, media. Dan Abu Jahal sudah sangat faham dengan hal itu, maka ia
gunakan suaranya untuk memberi informasi penting ke seluruh Arab, bahwa ia ada,
dan akan terus ada dengan segala kekuatannya.
Abu Jahal adalah tokoh penting
orang-orang kafir Quraisy, ia orang berada, telah mewarisi seluruh kehormatan
dari keluarganya yang terpandang. Karena itulah ia menjadi tokoh sentral, lidah
dan pandangannya tajam, segala yang diucapankannya selalu tampak jelas, meski
dalam hal keburukan, karena ia orang kafir.
Dalam sejarah permulaan dakwah
Nabi Muhammad SAW, Abu Jahal adalah orang yang selalu menampilkan permusuhannya
terhadap Nabi, tidak hanya menyakiti beliau dan orang-orang yang masuk Islam
secara langsung, tapi ia juga selalu menghalangi orang-orang agar tidak
mengikuti ajakan Nabi, sebagaimana yang ditulis oleh Ibnu Hisyam dalam sirahnya
bersumber dari hadits Imam Bukhari bahwa saat Abu Thalib menghadapi
kematiannya, datanglah Nabi Muhammad SAW sedang di hadapan Abu Thalib telah ada
Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah bin Al Mughirah, lalu Nabi berkata
kepada Abu Thalib :
“Wahai Paman, ucapkalah La Ilaha
Illallah, kalimat dimana Aku akan bersaksi untukmu nanti di hadapan Allah”,
Abu Jahal dan Abdullah bin Abi
Umayyah bin Al Mughirah pun langsung berkata :
“Apa kamu membenci agama Abdul
Muththalib?”,
begitulah seterusnya sampai
akhirnya Abu Thalib berkata :
“(Aku) Dalam agama Abdul
Muththalib”,
ia menolak mengucapkan La Ilaha
Illallah.
Sungguh sejarah akan terus
berulang, dengan tokoh dan tempat yang pasti akan selalu berbeda, namun
mempunyai hakikat yang selalu sama. Sejarah kebengisan Fir’aun akan terus
terulang, sejarah Namrud akan terus terulang, sejarah Qarun dan keluarganya
akan terus terulang, begitu juga dengan sejarah kebinasaan umat-umat terdahulu,
seperti kaum Ad, Tsamud, kaum Nabi Luth, kaum Nabi Nuh dan seterusnya juga akan
terus terulang, tentu dengan nuansa yang berbeda, namun hakikat dari
sebab-sebab kebinasaannya akan selalu sama, yaitu pembangkangan terhadap Allah
SWT.
Kalau kita cermati sejenak,
setiap bencana yang terjadi pada umat-umat terdahulu selalu ada kaitannya
dengan pembangkangan terhadap perintah Allah, namun yang sungguh sangat menarik
untuk diperhatikan adalah, setiap pembangkangan yang kemudian tergambar dalam
kerusakan akhlak dalam beragama, bersosial, berekonomi, berpolitik dan
bernegara adalah tokoh-tokoh yang berada di belakangnya, ada aktornya, ada
motivatornya, ada konfiguratornya, ada inisiatornya, ada eksekutornya, dan yang
paling utama adalah keberadaan sang donaturnya.
Sinyal Al Qur’an mengenai
tokoh-tokoh di belakang kerusakan bisa dilihat dalam ayat 16 surat Al Isra yang
artinya :
“Dan jika Kami hendak
membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup
mewah di negeri itu (untuk mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan
dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan
(ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya”.
Dan ayat 123 surat Al An’am :
“Dan demikianlah Kami adakan pada
tiap-tiap negeri penjahat-penjahat yang terbesar agar mereka melakukan tipu
daya dalam negeri itu”.
Dalam ayat 16 surat Al Isra, ada
3 hal penting yang menjadi pembahasan dalam tulisan ini.
Pertama. Arti kata “amarna”.
Imam Ibnu Katsir menjelaskan
bahwa makna “perintah” kepada “mutrafiin” untuk berbuat kerusakan adalah
menjadikan mereka memiliki kemampuan untuk berbuat kerusakan, karena tidak
mungkin Allah memerintahkan berbuat kerusakan kepada mereka, Abdullah bin Abbas
pun menegaskan ini sebagaimana dinukil oleh Imam At Thabari dalam tafsirnya,
hal ini juga dikatakan oleh Abu Utsman Al Hindi, Abu Raja’, Abul Aliyah, Ar
Rabi’, Mujahid dan Hasan Al Bashri seperti dikutip oleh Imam Qurthubi dalam
tafsirnya.
Sedang makna kedua adalah mereka
diperintahkan agar taat kepada Allah namun mereka justru berbuat kerusakan,
sebagaimana Abdullah bin Abbas, Said bin Jubair juga mengatakan ini.
Ada juga dari kalangan ahli
tafsir seperti Qatadah, Hasan Al Bashri, Abu Haiwah As Syami, Ya’kub, Kharijah,
Ad Dhahhak, Ibnu Zaid, Ikrimah, Malik bin Zuhri termasuk juga Abdullah bin
Abbas yang mengatakan arti “amarna” adalah “kami perbanyak”, sehingga artinya
adalah “Jika Kami hendak membinasakan suatu negeri maka Kami akan memperbanyak
orang-orang yang berkelimpahan harta”.
Arti berikutnya adalah
“menjadikan orang-orang yang berkelimpahan harta itu sebagai pemimpin negeri”,
sebagaimana dikatakan dalam bahasa Arab, yang berpendapat ini adalah Abu Utsman
Al Hindi, Ibnu Aziz dan juga dari kalangan Ahlut Ta’wil.
Kesimpulan dari makna-makna yang
dikatakan oleh para ahli tafsir adalah, bahwa Allah SWT akan memerintahkan
orang-orang yang berkelimpahan harta itu agar taat kepada Allah namun mereka
berbuat fasik, memperbanyak jumlah mereka, menjadikan mereka pemimpin-pemimpin
negeri, memberikan kemampuan kepada mereka untuk berbuat kerusakan di negeri
mereka.
Kedua. Arti kata “Mutrafiin”
Imam At Thabari mengatakan bahwa
Abdullah bin Abbas mengartikan sebagai “Asyraar” dimana dalam bahasa kita bisa
berarti penjahat, preman, maling, perampok, penipu, pembunuh dan seterusnya.
Sedang Abul Aliyah mengatakan
sebagai “mustakbiriin” yaitu orang-orang yang sombong, pongah dsb.
Hasan Al Bashri mengatakan
sebagai “fasaqah” yaitu orang-orang yang berbuat fasik (kerusakan). Imam
Fakhruddin Ar Razi dan Imam As Syaukani juga mengatakan ini dalam tafsir mereka
dari Al Wahidy.
Ad Dhahhak mengatakan sebagai
“kubaraa” yaitu para pemimpin.
Qatadah mengatakan sebagai
“jababirah” yaitu pemimpin-pemimpin bengis dan diktator.
Kesimpulan dari para Ahli Tafsir,
bahwa kata “mutrafiin” adalah orang-orang yang berbuat kerusakan dari kalangan
orang-orang yang berkelimpahan uang yang mencakup para pemimpin, pengusaha,
penjahat dan seterusnya.
Sayyid Quthub dalam tafsir Fi
Dzilalil Qur’an mengatakan :
“Ayat 16 pada surat Al Isra
menegaskan bahwa, keberadaan orang-orang yang berkelimpahan harta (mutrafiin)
adalah tanda bahwa umat sedang mengalami kerusakan”.
Ketiga. Arti kata “fafasaqu”, berasal dari kata “fisq”.
Dalam kamus Al Mu’jamul Wasith
dijelaskan bahwa secara bahasa arti “fasaqa” adalah :
“Keluar dari sesuatu”
Misalnya : “bermaksiat dan
melampaui batasan-batasan syari’at”
Imam Ibnu Athiyyah dalam tafsir
Al Muharrirul Wajiz mengatakan :
“Keluar dari ketaatan kepada
Allah”
Dengan demikian maka setiap orang
yang tidak taat kepada Allah dan keluar dari batasan-batasan syari’at, baik
dilakukan oleh orang kafir maupun orang mukmin maka dia disebut sebagai orang
“fasiq” yaitu orang yang berbuat fasik.
Ulama membagi “fisq” menjadi dua
:
1. Fisq yang dapat mengeluarkan
pelakunya dari keimanan.
2. Fisq yang tidak mengeluarkan
pelakunya dari keimanan.
Adapun “fisq” yang tidak mengeluarkan
pelakunya dari keimanan maka ada dua :
1. Fisq dalam perkara keyakinan.
Imam Ibnu Qoyyim mencontohkan
dalam Kitab Madarijus Salikin sebagai “orang yang melakukan bid’ah” (1/362),
meskipun “fisq” sendiri lebih umum dari bid’ah sebagaimana ungkapan Ibnu Sholah
dalam Fatawa Ibnu Sholah :
“Semua pelaku bid’ah adalah orang
fasik namun tidak semua orang fasik adalah pelaku bid’ah” (hal.28)
2. Fisq dalam perkara perbuatan.
Imam An Nawawi dalam Fatawa An
Nawawi menjelaskan hal ini dengan ungkapan :
“Adapun perbuatan fasik maka
dihasilkan dari melakukan dosa besar atau terus-menerus dalam melakukan
dosa-dosa kecil (261).
Kesimpulan dari penjelasan para
Ulama tentang arti “fisq” adalah semua bentuk perbuatan maksiat kepada Allah
dan berakibat pada kerusakan syari’at NYA.
Lihatlah, alangkah tepatnya saat
Allah SWT mengabarkan kepada kita tentang keberadaan orang-orang yang
berkelimpahan harta dengan segala potensi dan kekuasaannya bila ia tidak taat
kepada Allah SWT. Mereka akan berubah menjadi pelaku kerusakan di muka bumi
dengan segala model dan bentuknya. Dan sebagaimana telah disinggung di depan,
bahwa sejarah akan senantiasa terulang meski dengan tokoh, tempat dan nuansa
yang berbeda, namun hakikatnya masih sama, yaitu terjadinya kerusakan-kerusakan
yang dipelopori oleh orang-orang yang berkelimpahan uang.
Tahukah kita bahwa di antara
nuansa yang berbeda itu adalah keberadaan media massa, senjata perusak saat ia
dikendalikan oleh orang-orang yang berkelimpahan uang,
saat ia dipakai untuk menjauhkan
orang dari kebaikan,
saat ia mampu membuat suami istri
mengakhiri pernikahannya dengan perceraian,
saat ia mampu membuat anak-anak
lupa terhadap pengajian,
saat ia mempu membuat para pemuda
lupa akan kewajiban,
saat ia mampu membuat para remaja
gila dengan tontonan,
saat ia mampu membuat aib orang
jadi bahan berita mahal yang menyenangkan,
saat ia mampu membuat ibu-ibu
tergila-gila dengan model pakaian,
saat ia mampu membuat semua orang
ingin bermewah-mewahan,
saat ia mampu membuat kemaksiatan
menjadi pertunjukan,
saat ia mampu membuat orang-orang
Islam selalu bertengkaran,
dan saat ia mampu membuat orang
awam salah dalam menetukan pilihan pimpinan……
Cepat atau lambat semua kebusukan
akhlak itu akan merusak tatanan dunia…
Semua adalah hasil kesaktian
senjata media…
Dan dibelakangnya adalah
orang-orang yang berkelimpahan harta…
Benar sekali apa yang di katakan
oleh penyair Hafidz Ibrahim :“Dan sungguh yang dinamakan sebuah UMMAT adalah
saat akhlaknya masih ada, bila ia hilang maka hilanglah UMMAT itu”
oleh : Ust Fairuz Ahmad
0 komentar:
Posting Komentar