"WTP
Saja Tidak Cukup"
Oleh :
Wahyu Priyono
Pegawai
pada BPK RI Perwakilan Provinsi NTB
Setiap tahun pemerintah daerah menunggu
dengan penuh harap opini BPK atas laporan keuangan yang akan mereka sampaikan
kepada DPRD sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pengelolaan keuangan daerah (APBD)
kepada masyarakat. Tentu saja Pemerintah Daerah tidak mengingingkan laporan
keuangan mereka memperoleh opini disclamer (tidak memberikan pendapat) maupun opini
adverse (tidak wajar). Sedikitnya mereka menginginkan opini wajar dengan
pengecualian (WDP), dan dambaannya adalah mendapat opini yang terbaik, yaitu wajar tanpa
pengecualian (WTP).
Mengapa opini WTP menjadi dambaan
setiap pemerintah daerah, sehingga banyak pemerintah daerah yang begitu gigih mengejar
opini WTP? Hasil diskusi dengan beberapa kalangan menyimpulkan sedikitnya ada
lima alasan pemerintah daerah begitu mendambakan opini WTP, yaitu :
(1) Prestise,
opini WTP merupakan predikat yang paling baik/tertinggi dari keempat jenis
opini yang dikeluarkan oleh BPK kepada pemerintah daerah yang telah berhasil
menyajikan secara wajar semua hal yang material laporan keuangan sesuai dengan
Standar Akuntansi Pemerintah (SAP);
(2) Clear,
banyak kalangan yang beranggapan
bahwa dengan mendapat predikat WTP berarti pengelolaan
keuangan pemerintah daerah telah dinyatakan bersih, transparan dan akuntabel;
(3)
Clean, dengan memperoleh predikat WTP, pemerintah daerah beranggapan bahwa mereka telah bebas
dari korupsi ataupun permasalahan-permasalahan hukum dalam pengelolaan keuangan
daerah (APBD);
(4) Citra,
secara politis dengan mendapatkan predikat WTP, pimpinan daerah akan mendapatkan pencitraan yang baik
sehingga dapat digunakan sebagai modal untuk maju lagi sebagai calon kepala
daerah;
(5)
Reward, setiap
pemerintah daerah yang memperoleh
opini WTP akan mendapat reward sebesar Rp50 milyar dari Kementerian Keuangan RI.
Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya seputar
opini WTP bermunculan. Diantara pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah :
(1) Apakah
betul dengan memperoleh predikat WTP, pemerintah daerah sudah terbebas (bersih)
dari kerugian daerah, korupsi dan tindakan-tindakan
melawan hukum terkait pengelolaan keuangan daerah (APBD)?
(2) Apakah
dengan opini WTP berarti program-program pembangunan pemerintah daerah sudah
dapat dikatakan berhasil atau mencapai target?
(3) Kenapa
angka pengangguran, angka kematian balita, angka kemiskinan, dan angka putus
sekolah masih tinggi tetapi pemerintah daerah mendapat opini WTP?
(4) Apakah
ada korelasi antara opini WTP yang diperoleh suatu pemerintah daerah dengan
hasil penilaian kinerja pemerintah yang dilakukan oleh Kemenpan?
(5) Masih
banyak masalah di aset seperti tanah yang belum bersertifikat, jalan dan
jembatan yang rusak, dan gedung dan bangunan yang tidak digunakan, tetapi
kenapa opininya WTP ya?
Mungkin
masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang senada dengan kelima pertanyaan
tersebut di atas. Namun dari pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak semua dapat
terjawab dengan pemeriksaan keuangan yang menghasilkan opini, sehingga bagi
pemerintah daerah tidaklah cukup hanya dengan memperoleh predikat WTP atas
laporan keuangan yang mereka sajikan dan sampaikan kepada rakyat. Opini atas
laporan keuangan belum bisa menggambarkan tingkat kinerja pelayanan publik yang
telah pemerintah daerah berikan/wujudkan kepada daerah dan seluruh rakyat yang
dipimpinya.
Tanggung
jawab pemerintah daerah kepada daerah dan seluruh rakyat yang dipimpinnya bukan
hanya pada penyusunan laporan pertanggungan jawaban keuangan (APBD) dan
kemudian memperoleh opini WTP, tapi secara substansi di lapangan harus
memberikan pelayanan publik yang baik dan memuaskan. Dengan demikian,
sebenarnya perlu tolok ukur yang dapat menilai kinerja pelayanan publik yang
telah diberikan pemerintah daerah kepada masyarakat yang dipimpinya.
Beberapa
tolok ukur yang dapat digunakan, antara lain : (1) berapa persen penurunan angka kemiskinan, (2) berapa persen angka
partisipasi pendidikan dan angka putus sekolah, (3) berapa penurunan angka buta
huruf, (4) berapa jumlah ibu dan anak yang berhasil diselamatkan dalam proses kelahiran,
(5) berapa jumlah pelayanan berkualitas yang diberikan oleh puskesmas, (6)
berapa jumlah gedung sekolah yang layak dan standar berhasil disediakan, (7) berapa km2 jalan baru yang dibuat/diperbaiki,
(8) berapa m3 air bersih mampu disediakan buat rakyat, (9) berapa tingkat inflasi
yang berhasil ditekan, (10) berapa ha lahan pertanian yang dibuka dan dapat
fasilitas irigasi yang memadai, (11) berapa juta pohon penghijauan yang
berhasil ditanam, (12) berapa jumlah usaha
kecil dan lapangan kerja baru yang berhasil diciptakan, (13) berapa besar hasil
industri rakyat yang mampu dipasarkan atau diekspor, (14) berapa persen
penurunan angka kriminal, (15) berapa persen penurunan angka perceraian, dan (16)
berapa persen peningkatan hasil pertanian/perkebunan/kelautan, serta tolok
ukur-tolok ukur lainnya yang langsung bersentuhan dengan kebutuhan/hajat hidup
masyarakat.
Dengan
demikian, semestinya opini WTP tidak menjadi euforia yang berlebihan baik bagi
pihak pemerintah daerah sendiri maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan
dengan opini tersebut. Menjadi suatu yang sangat bagus jika opini WTP yang
diperoleh diikuti juga dengan kinerja pelayanan publik yang baik/memuaskan bagi
seluruh rakyat di daerahnya.
.................ooo................
0 komentar:
Posting Komentar