Oleh : Muhaimin Iqbal
Sejak kemenangan tentara sekutu
dalam Perang Dunia II, banyak berkembang strategi bisnis barat yang diinpirasi
oleh strategi perang dan intelligence. Jauh sebelumnya juga sudah terjadi para
pebisnis timur belajar dari strategi perang China yang terkenal dengan Sun
Tzu-nya. Apakah para pebisnis muslim bisa belajar dari para panglima perang di
masa kejayaan Islam ? sangat bisa !
Referensi dari strategi perang
yang sangat inspiratif itu antara lain dari kemenangan yang legendaris tentara
Islam di Constantinople yang kemudian berubah nama menjadi Islambul (Islam
penuh), tetapi nama ini kemudian diplesetkan oleh kaum sekularis Turki menjadi
Istambul hingga kini.
Ketika Constantinople akhirnya
bisa ditaklukan oleh panglima perang terbaik – Muhammad Al-Fatih dengan tentara
terbaiknya 29 Mei 1453, itu kabar baiknya sudah disampaikan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri 8 abad sebelum peristiwa terjadi.
Bahwa Muhammad Al-Fatih dipuji
oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam 8 abad sebelum kelahirannya –
sebagai pemimpin perang terbaik dengan pasukan terbaik yang akan menaklukkan
Constantinople, tentu amat sangat banyak yang bisa dipelajari dari Sultan yang
di dunia barat disebut sebagai “Mehmet the Conqueror” (Mehmet Sang Penakluk)
ini.
Ketika penaklukan itu terjadi dia
baru berusia 21 tahun lebih 2 bulan (Kalender Masehi - sekitar 22 tahun
Kalender Hijriyah), hafal Al-Qur’an sejak belia, menguasai tujuh bahasa dan
berbagai bidang keilmuan yang ada pada jamannya, tidak pernah meninggalkan
sholat jamaah sebagaimana dia juga perintahkan ke seluruh prajuritnya – dan
bahkan dia sendiri tidak pernah meninggalkan sholat malam sejak dia balig.
Meskipun berbagai cara untuk
penaklukan Constantinople dilakukan sejak beberapa generasi sebelumnya tanpa
membuahkan hasil, cerita bahwa suatu saat Constantinople akan bisa ditaklukkan
ini dahulu diteruskan dari generasi ke generasi pada jamannya.
Hingga sampai suatu saat - dengan
ijin Allah - Muhammad Al-Fatih dengan bekal ketaatan dan kekuatan sholat
malamnya, dengan bekal pengetahuannya yang sangat luas termasuk science pada
jamannya – dia mampu membangun strategy perang yang tidak pernah terbayangkan
oleh orang lain sebelum jamannya – maka penaklukkan Constantinople itu bisa
benar-benar terealisir.
Penaklukan ini sekaligus menjadi
bukti kebenaran Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam : “Konstantinopel
benar-benar akan ditaklukkan, maka sebaik-baik pemimpin pasukan adalah pemimpin
pasukannya dan sebaik-baik pasukan-adalah pasukannya” (HR. Ahmad)
Salah satu strategy Muhammad
Al-Fatih yang benar-benar out of the box sehingga pihak musuh-pun tidak pernah
menduga sebelumnya adalah mendaratkan 70-an kapalnya, menariknya dengan
landasan kayu yang diberi minyak binatang, mendaki bukit Galata menempuh
perjalanan sejauh kurang lebih 16 km – dan itu hanya dilakukannya dalam waktu
semalam !.
Keesokan harinya pasukan
Byzantine yang memusatkan perhatiannya ke selat Bosporus dengan
benteng-bentengnya yang sangat kokoh menghadang setiap musuh yang datang dari
selat tersebut, terkejut bukan kepalang karena armada 70-an kapal pasukan
Muhammad Al-Fatih sudah berada di wilayah yang disebut tanduk emas (Golden
Horn) mereka dengan titik pertahanan yang relatif lebih lemah (karena sudah
dijaga di depan).
Saking tidak terpikirnya oleh
mereka apa yang mereka hadapi saat itu, sampai-sampai sebagian pasukan
Byzantine mengira hantu-hantulah yang membawa kapal-kapal Al-Fatih sampai bisa
masuk ke belakang garis pertahanan mereka yang sangat kokoh. Sejak saat itulah
pasukan Constantine terpecah konsentrasinya, menjadi kurang PD dan tembok
pertahanan mereka mudah dihancurkan.
Dari mana orang seperti Muhammad
Al-Fatih bisa berfikir di luar kebiasaan orang pada jamannya, di luar jangkauan
kemajuan science yang tercapai saat itu ? bahwa kapal –kapal perangnya harus
bisa mendaki bukit selain juga tentu harus bisa berlayar selayaknya kapal pada
umumnya ?.
Itulah yang saya sebut dalam
sejumlah tulisan sebelumnya sebagai bentuk aplikasi ayat “…bi a’yuninaa wa
wahyinaa…” atau “ …dengan pengawasan Kami dan dengan wahyu Kami…”.(QS 11 :37
dan QS 23 :27). Nabi Nuh bisa membuat kapal yang menyelamatkan penduduk bumi
yang taat dan seisinya, meskipun dia bukan seorang insinyur kapal.
Nabi Ibrahim ‘Alaihi Salam bisa
membangun bangunan yang hingga kini tidak hentinya dikunjungi manusia dari
seluruh penjuru bumi – yaitu Ka’bah, bukan karena dia seorang arsitek. Nabi
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bisa membangun Negara yang sempurna,
meskipun beliau adalah seorang yang umi. Semua itu dimungkinkan karena diawasi
langsung olehNya dan diberi petunjukkanya langsung dalam wahyu-wahyu yang
disampaikanNya.
Sebesar apapun pekerjaan itu,
bila Dia sendiri yang mensupervisi pelaksanaannya dan Dia pula yang memberikan
juklak atau petunjuk pelaksanaannya, maka yang nampaknya tidak mungkin menjadi
mungkin.
Strategi yang luar biasa yang
tidak terbayang oleh musuh, seperti menarik kapal melintasi bukit yang
dilakukan oleh Muhammad Al-Fatih bersama para pasukannya tersebut di atas tentu
juga karena mendapatkan pengawasan langsung dari Allah dan dengan petunjuk
melalui Wahyu-wahyuNya “…bi a’yuninaa wa wahyinaa…” – yaitu ayat-ayat Al-Qur’an
yang dihafalnya sejak dia masih kecil.
Lantas pelajaran apa yang bisa
kita ambil dari penaklukan Constantinople oleh panglima perang terbaik dengan
pasukan terbaik tersebut di atas ?
Pertama tidak ada cara lain untuk
menjadi unggul bagi umat ini kecuali kita bisa mencontoh bagaimana umat ini
dahulu diunggulkan, dari generasi para nabi – hingga generasinya Muhammad
Al-Fatih pasca era kenabian.
Kedua kita harus mampu memikirkan
strategy yang out of the box untuk menaklukan musuh-musuh kita, strategi yang
WOW yang sekaliber ‘menarik kapal mendaki bukit’ –nya Muhammad Al-Fatih.
Ketiga strategy tersebut akan
dimungkinkan bila kita bisa membangun atau menyiapkan orang-orang yang yang
mendekati kaliber Muhammad Al-Fatih dalam hal keimanannya, penguasaan
Al-qur’annya, penguasaan bahasanya, ilmu pengetauannya sampai sholat jamaah dan
qiyamul –lail-nya.
Untuk memenangkan persaingan di
bidang apapaun - termasuk usaha, kita harus mampu berfikir dengan apa yang
tidak terfikirkan oleh siapapun sebelumnya – Think the Unthinkable !, dan itu
hanya bisa terjadi bila kita disupervisi dan dituntun langsung oleh
petunjuk-petunjukNya “…bi a’yuninaa wa wahyinaa…”. InsyaAllah.
0 komentar:
Posting Komentar