Jakarta - Pakar Hukum Tata Negara, Asep Warlan Yusuf menyebutkan
ada tiga phase koalisi yang diselenggarakan oleh SBY sebagai ketua koalisi.
Pertama memenangkan pasangan SBY-Boediono yang dilanjutkan dengan phase kedua
penyusunan kabinet yang targetnya memasukkan anggota-anggota koalisi di kabinet
ketika menjalankan pemerintahannya.
Phase ketiga dalam menjalankan
pemerintahannya kabinet yang terbentuk itu harus kompak dan solid. Harapan SBY
mengenai kompak dan solid ini tentunya mendapatkan dukungan dari parlemen.Tapi
dalam kontrak rumusan harus kompak dan solid hanya untuk mendukung kabinet.
Dalam kontrakpun hanya tertulis kekompakan itu untuk meningkatkan kinerja,
tidak KKN dalam kabinet. Isi kontrak itu tidak ada hubungan sama sekali dengan
DPR.
"Inilah celah yang
dimanfaatkan oleh PKS karena fraksi di DPR tidak diikat dalam hubungan koalisi
yang artinya boleh saja apapun alasannya baik sekedar cari popularitas atau
benar-benar memperjuangkan ideologi untuk berseberangan dengan presiden,” ujar
Asep, Jumat (7/6/2013).
Menurut Asep, kontrak koalisi
hanya berlaku mengikat untuk SBY sebagai ketua koalisi dan menteri-menterinya
yang dari parpol. SBY tentu sangat paham dirinya tidak boleh mengikat DPR dalam
hubungan koalisi dalam sebuah kontrak karena hal itu akan membuat SBY melakukan
tindakan inskonstitusional.
“Jadi memang yang diikat oleh SBY
adalah para menteri dari parpol dan bukan fraksi koalisi di DPR dan faktanya
semua menteri di kabinet termasuk yang dari PKS menerima dan mendukung
kebijakan SBY. Tinggal SBY saja yang memutuskan apakah hal itu cukup atau tidak
dan apakah SBY merasa terganggu dengan kebijakan FPKS menolak kenaikan harga
BBM,” katanya.
Pakar Hukum Tata Negara,
Irmanputra Sidin mengatakan hubungan DPR dan Presiden dalam relasi
konstitusionalnya, ketika anggota/DPR harus mengambil sikap atas kebijakan
Presiden memang secara konstitusional didesain untuk "bermuka dua"
atau "berkaki dua".
"DPR tidak boleh memiliki
sikap permanen selalu menolak atau selalu menerima terhadap segala perbuatan
atau kebijakan Prrsiden dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahannya,"
katanya.
Menurut Irman, dalam berbagai
kesempatan sering mendengar seolah-olah fraksi-fraksi yang tergabung dalam satu
ikatan koalisi harus memiliki satu pendapat dalam memutuskan satu hal dan
ketika ada anggota koalisi yang tidak sependapat akan dicap bermuka dua.
"Anggota koalisi, bahkan
oposisi sekalipun juga tidak seharusnya memiliki sikap permanen untuk menolak
apapun keinginan presiden. DPR secara hukum tata negara memang tidak boleh
memiliki sikap permanen atas kebijakan presiden dalam menjalankan
pemerintahannya,” ujar Irman.
Irman mengatakan, Presiden tidak
boleh berpikir bahwa selama 5 tahun kebijakannya semua harus disetujui dengan
dasar sebuah kontrak politik, begitupula sebaliknya, bahwa dalam 5 tahun segala
kebijakan presiden harus tidak disetujui terus karena berpikir bukan bagian
dari kontrak politik koalisi.
“Relasi DPR dan Presiden adalah
relasi dinamis dalam kerangka checks and balance, oleh karenanya "muka dua
atau kaki dua", sesungguhnya lebih konstitusional dari "muka
satu". Karena kalau justru muka satu, maka logika DPR sebagai perwakilan
rakyat tidak akan berada dalam domain reprsentasi objektif rakyat,” kata Irman.
*tribunnews.com
0 komentar:
Posting Komentar