Sungguh Cinta mengubah yang pahit menjadi manis. Debu beralih emas. Keruh menjadi bening. Sakit menjadi sembuh. Penjara menjadi telaga. Derita menjadi nikmat. Dan kemarahan menjadi rahmat. Cintalah yang melunakkan besi. Menghancur-leburkan batu karang. Membangkitkan yang mati. Dan meniupkan kehidupan padanya. Serta membuat budak menjadi pemimpin. (Jalaluddin Rumi)
---------
Konon jauh di pedalaman
belantara, ada sebuah telaga. Kerimbunan pohon memayungi tepinya, kerapatan
perdu menyembuyikan kecantikannya. Beberapa ekor rusa anggun bertekuk lutut
melipat kakinya, burung-burung membuat sarang di kanan-kirinya. Beberapa pucuk
daun jatuh menyapa permukaannya, dan telaga itu beriak-riak membentuk lingkaran
terus membesar sampai tepi-tepi yang kemudian hilang. Terdengar keributan hewan-hewan
di sekitarnya, tetapi sayup-sayup. Suara yang paling nyata adalah desiran angin
di atasnya, atau bunyi katak terjun menyelami kedalamannya. Atau sama sekali
lenggang, ketika angin beristirahat bersama lelapnya alam sekelilingnya.
Telaga itu begitu tenang. Cuma
ada riak-riaknya. Permukaanya yang bening mampu membuat langit dan isi alam
sekelilingnya dapat berkaca.
Telaga itu di mana? Di buku-buku
cerita peri yang sedang mengaso bersama kupu-kupu bersayap indah dan bersama
kelinci-kelinci lucu? Atau berada pada legenda di ujung pelangi saat para
bidadari turun mandi? Atau dalam cerita pewayangan tempat para ksatria memulai
tapa brata?
Telaga itu, di mana pun, ada
sungguhan atau tidak ada, sering begitu nyata dalam bangunan imajinasi manusia.
Karena ketersembunyiannya, kesahajaanya, ketenangannya, tentu saja telaga
paling banyak dicari bagi pengembara yang letih kehausan, yang terletak jauh di
balik belantara, jauh di balik bumi, jauh di balik kedalaman jiwa.
Telaga siapakah? Jika Anda sedang
lelah, telaga menjadi tempat terbaik untuk beristirahat dengan semilir
anginnya. Jika Anda sedang haus, telaga sangat baik untuk direguk karena
kesejukan dan higienis airnya begitu alami. Jika Anda merasa hampa, telaga
adalah cermin tempat ditemukanya kembali makna-makna. Telaga sendiri adalah
sunyi yang cukup bagi dirinya sendiri, ketika Anda tengah kehilangan orientasi
dan sepi di tengah hiruk pikuk kesibukan.
Personifikasi telaga dapat
bermacam-macam. Bisa orangtua, pasangan hidup, murabbi, kiai, ustadz, atau orang
yang paling dekat di hati kita. Sebagian mereka adalah tamsil bagi telaga yang
nyata. Namun, sebagian mereka ada yang menuntut agar telaga terpersonifikasi
senyata-nyatanya.
*
Seorang rekan yang berprofesi
sebagi aktivis mengenyakkan badannya di emper sebuah kampus. Senja itu hampir
saja datang dengan iringan angin sepoi yang sejuk. Udara sejuk masih ada,
sesejuk air telaga. Lalu aktivis itu berkata pada dirinya sendiri, “Aku sebel
dengan diriku sendiri, tetapi aku begitu capek harus selalu menjadi telaga….”
Oh, para aktivis penyampai
idealisme dan kebenaran, apa kata dunia jika kalian ogah menjadi telaga bagi
sesama? Padahal, kalian diamanatkan Tuhan cinta—cinta yang tulus, yang memberi
tanpa pamrih, yang tidak mengambil, kecuali ala kadarnya, yang tenang dan
menenangkan.
Berbagai cerita kartun sampai
nilai adat-istiadat mendukung tuntunan bahwa seorang yang berjiwa besar harus
memiliki dan mampu memberi telaga di tengah hutan pada siapa pun, sehingga
keberadaanya jauh memberi rasa nyaman dan aman. Seorang yang berjiwa besar atau
yang sedang berupaya mendapatkan kebesaran jiwa, harus terus berlatih menjadi
telaga yang ketenangannya tidak terusik oleh kebisingan dan hiruk pikuk di
sekelilingnya, sehingga setiap orang—bahkan dirinya sendiri—akan terus mencari.
Dan sejuk dihampirinya.
Seseorang yang telah mendapatkan
sentuhan kebenaran, konsekuensinya menyampaikan kebenaran pada yang lain,
mewarisi kebeningan hati. Ia harus mampu menyederhanakan puluhan kalimat
menjadi satu-dua kata, memeras kata-kata menjadi makna, dan membagikannya
seperti membagikan segelas es teh pada siapa saja yang dahaga, tanpa memandang
bangsa, suku, perbedaan ideologi, perbedaan afiliasi politik, bahkan perbedaan
agama! Ia harus selalu memberi ketenangan dan kesejukan.
Namun telaga manusia tidak berada
di balik bajunya. Ketelagaan seseorang ada di balik hatinya. Dan betapa
kecilnya telaga itu. Ia bisa saja kering ketika kemarau panjang datang. Atau
kelebihan air ketika musim hujan datang, ia akan mengalirkannya ke lautan.
Karenanya, biar saja setiap orang, lebih-lebih yang mengaku aktivis penyampai
jalan kebenaran itu lelah jadi telaga. Dia jujur dan mengenali kelelahannya,
itu yang penting. Dia pun tidak wajib menyodorkan segelas es teh, tetapi juga
berhak mendapatkan segelas es teh. Selain itu, menjadi sebuah telaga bukan
akhir dari proses untuk “menjadi”.
“Kenapa tidak menjadi samudera
saja?” Barangkali itu yang akan kita tanyakan.
Samudera itu luas. Kandungannya
banyak. Nelayan-nelayan mencari ikan di dalamnya, orang mengebor minyak bumi di
lepas pantainya, membangun kota-kota pelabuhan di tepinya, dan berlayar di
atasnya. Para penemu benua baru mengalami proses kematangan mental terpenting
dalam hidupnya setelah mengarungi keluasannya. Memang, samudera tidak sejernih
dan setenang telaga yang indah karena kecilnya, tetapi sering membuat orang
terperangah dan kecut karena keluasannya. Jika badai terjadi di tengah
samudera, kapal-kapal kecil tinggal menunggu kehancurannya. Jika badai raksasa
datang menggulung, bahkan kota-kota yang ada di sekelilingnya pun bisa hilang
dalam sekejap. Namun, telaga bisa kering, dan makhluk di sekitarnya pun bisa
mati kehausan kelaparan.
Jika telaga ada di balik hati,
samudera kemanusiaan pun tampaknya susah untuk ditunjuk oleh sebuah kalimat.
Ini lantaran keluasannya dan kedalamannya. Seorang yang ikhlas menemukan
samudera di ujung amal kesehariannya yang diniatkan secara tulus karena Allah
semata. Tetapi, seorang perindu Allah dapat juga menemukan samuderanya
bersamaan dengan kehadiran seseorang yang ikhlas menerimanya. Samudera itu
dapat bersama dengan hadirnya seorang sahabat perempuan atau lelaki, atau
bahkan anak-anak seusia yang belajar alif, ba, ta, di TPA. Karena samudera
kemanusiaan amat berdimensi Ilahi. Bahkan dalam tingkat kesujudan tertentu,
samudera kemanusiaan adalah Allah sendiri yang luas dan dalamnya tak terbatas.
Menyamudera adalah proses tanpa
akhir, karena akhirnya adalah samudera itu sendiri. Menyamudera adalah proses
yang lebih jujur dan dinamis, dan menantang daripada menjadi telaga. Karena
pada saat itu manusia tidak sedang unjuk kekuatan dan segala atribut
kepentingan, tetapi sedang sedang berjalan menuju-Nya.
Menjadi telaga atau samudera pada
dasarnya adalah pilihan bebas bagi siapa saja; atau justru dipilih
kedua-duanya. Telaga dalam diri kita tidak harus kita cari dalam kedalaman
spiritual. Tetapi terkadang dalam kesahajaan dan kesederhanaan yang dilandasi
dengan kesadaran spiritual. Untuk menjadi telaga atau samudera sama-sama harus
mengubah diri kita menjadi air terlebih dahulu, menepati ruang, sesuai dengan
tempatnya, transparan meskipun air tidak harus mengubah dirinya menjadi benda
lain. Air telaga dan samudera adalah air yang keberadaannya berasal dari
air-air mengalir yang bisa jadi memerlukan proses panjang berliku. Justru
dengan proses inilah, kematangan dan kearifan hidup dapat dicapai. Proses
panjang untuk menuju proses menjadi inilah yang menurut Jalaluddin Rummi
sebagai proses ‘cinta’, karena segala eksistensi yang berjalan menuju-Nya
adalah sebuah perjalanan kekal. Hanya dengan cintalah diri kita akan mampu
berubah menjadi telaga atau samudera.
Dan pada akhirnya, bagi siapa
saja yang dalam dirinya tersemai kesadaran melakukan perbaikan, baik bagi
dirinya maupun orang lain, dengan apa yang selama ini kita sebut dakwah dalam
dimensi sosial keagamaan, senantiasa dituntut untuk memiliki ketenangan dan
semangat yang mengerakkan. Ia harus menjadi telaga atau samudera. Atau ia harus
menciptakan kedua-duanya dalam kesadaran di balik dadanya. []
Adib Nurhadi
0 komentar:
Posting Komentar