Bagi masyarakat suku Sasak Lombok,
hubungan rakyat dengan pemimpinnya harus dilandaskan pada prinsip sebumbung
(menjaga), sewirang (membela) dan sejukung (bersama-sama). Bila rakyat merasa
pemerintah telah melaksanakan kebijakan yang keliru, ada sebuah forum tempat
mereka leluasa menyampaikan aspirasi dan kritik.
Pemimpin wajib mendengar mereka
jika tidak ingin mendapat sanksi adat. Menggugat kebijakan pemerintah diluar
forum itu sangatlah dihindari.
Sejak ratusan tahun silam Suku
Sasak, Lombok, NTB, mengenal tradisi Gawe Rapah. Kata Gawe berarti pertemuan
besar atau rapat, sedangkan rapah berasal dari istilah arab arafah, yang
berarti kedamaian.
Gawe rapah adalah sebuah
pertemuan berkala antara pemimpin dengan masyarakatnya dalam rangka mencari
solusi atas berbagai persoalan yang ada mulai dari kasus percekcokan antar
warga hingga soal kebijakan pemimpin yang dinilai keliru.
Dari sisi hubungan antara
pemimpin dan rakyat, Gawe rapah adalah tempat rakyat mengungkapkan keluh kesah
mereka secara blak-blakan dengan bahasa dan sikap yang santun. Di luar Gawe
rapah rakyat pantang menyebut-nyebut aib dan kelemahan pemimpinnya.
Tradisi Gawe rapah dimulai
dengan berkumpulnya warga di bale rapah.
Hadir pula pemimpin banjar (pemimpin setingkat RT), Keliang (Kepala dusun)
serta pihak-pihak terkait.
Pertemuan tersebut dibagi kedalam
beberapa tahap. Tahap pertama dinamakan ngenduh rerasan atau mengeluarkan
perasaan. Pada tahap ini, warga diberikan kebebasan mengeluarkan segala macm
unek-unek mereka. Pemimpin yang hadir hanya sebagai pendengar.
Tahap selanjutnya adalah gundem
atau mencari solusi. Warga masih diberikan keleluasaan menentukan solusi yang
tepat atas persoalan mereka. Tahap yang terakhir adalah sangkep atau memutuskan
dan menyimpulkan.
Beberapa hal yang harus dipatuhi
bagi mereka yang hadir pada Gawe rapah diantaranya tidak boleh menggunakan
bahasa dan sikap yang kasar. Kritik terhadap pemimpin dipersilahkan bebas
tetapi harus disampaikan dengan santun.
Ketentuan selanjutnya, warga
tidak boleh mengungkap kelemahan dan aib pemimpinnya diluar Gawe rapah dengan
catatan pemimpin wajib melaksanakan putusan gawe.
Masyarakat berkomitmen mendukung
pemimpinnya, pemimpin juga berkomitmen melaksanakan aspirasi rakyatnya. Setelah
pertemuan selesai semua kembali ke tugas masing-masing.
Bagi masyarakat sasak, hubungan
antara rakyat dan pemimpin tidak diukur secara teknis sederhana soal siapa yang
memerintah dan siapa yang diperintah. Hubungan keduanya adalah hubungan emosional
yang bertanggung jawab dengan rakyat sendiri sebagai aktor tunggalnya.
Rakyat diharuskan merang (berani)
menyampaikan kritiknya, disisi lain rakyat juga harus tindih kepada
pemimpinnya. Baik rakyat dan pemimpin adalah entitas utama terjaminnya kesejahteraan
hidup.
Berjalannya kesepakatan pada saat
Gawe rapah juga didukung oleh pemberian sanksi adat bagi siapa saja yang
melanggar baik warga lebih-lebih pemimpin, mulai dari hukuman ringan hingga
berat.
Sanksi adat bagi mereka yang
tidak mengindahkan keputusan bersama dimulai dari hukuman ngayah. Pihak
terhukum diwajibkan menyumbangkan sesuatu untuk kepentingan publik baik berupa
uang maupun barang.
Pada jaman dulu, pihak terhukum
disuruh membersihkan jalan umum, pekarangan masjid dan lain-lain. Hukuman yang
lain adalah pelilak atau dipermalukan. Oknum warga atau pemimpin kampung yang
diketahui telah melanggar hukum akan dipanggil dalam pertemuan atas inisiatif
mayoritas warga.
Di tempat inilah diumumkan
kesalahan-kesalahannya dengan niat agar yang melanggar merasa malu. Hukuman
yang tergolong berat adalah peluah atau dikeluarkan dari aktifitas sosial
masyarakat. Mereka yang melanggar ketentuan adat tidak diundang saat ada acara
gotong royong, zikir, dan semua kegiatan bersama.
Sebenarnya ada hukuman yang
paling berat yakni dibunuh dengan cara dibuah ke tengah laut dengan kaki
digantungkan batu berat. Pelanggar tidak dilukai. Pelanggar juga tidak punya
kubur. Ini untuk menghindari balas dendam dari pihak keluarga,” tambah Raden.
Tidak jelasnya sistem dan pola
hubungan antara masyarakat dan penguasa diyakini sebagai akibat dari tidak
dirawatnya semangat Gawe rapah. Banyak
masyarakat yang hanya bisa asal kritik terhadap pemimpinnya, tanpa
mempertimbangkan aspek etika dan substansi persoalan. Pemimpinnya pun demikian,
nyaris tidak memiliki komitmen untuk melaksanakan keinginan rakyat.
“Kita sudah tidak mau belajar
dari para leluhur lewat pakem-pakem adat yang mereka gariskan. Kita terlalu
banyak mengimpor aturan dari luar yang nyata-nyata tidak sesuai dengan filsafat
hidup kita,” ungkap Haji Jalaluddin Az-Zaky, tokoh agama asal Lombok Barat.
Haji Jalal, begitu beliau
dipanggil, juga mengkritik sistem demokrasi yang kini diterapkan di negeri ini.
“Demonstrasi dengan meneriakkan
aib pemerintah yang kadang-kadang tanpa mengetahui duduk persoalannya adalah
salah satu keburukan itu. Pemimpinnya juga sudah tidak menjadikan aspirasi
rakyat sebagai amanah besar yang harus dilaksanakan.”
Semangat Gawe rapah setidaknya
telah hilang bersama semaraknya Musyawarah Perencanaan Pembangunan
(Musrenbang), rapat tahunan dan pertemuan-pertemuan formal yang tidak punya
ruh.
Humas PKS Lotim
*diedit dari http://sosbud.kompasiana.com/2011/02/20/gawe-rapah-cara-orang-sasak-berdemokrasi-341479.html
0 komentar:
Posting Komentar