Bincang-bincang
Joseph Kristiadi:
"Rakyat Harus Memproduksi Pemimpin"
SAAT ini muncul penilaian,
kepemimpinan nasional tersandera banyak kekuatan sarat kepentingan sehingga
pemerintahan tak berjalan efektif. Semua diselesaikan dengan cara “dagang sapi”.
Keadaan itu justru terjadi pada era demokratis. Untuk menguak permasalahan itu,
berikut bincang-bincang Rakyat Medeka dengan Dr Joseph Kristiadi dari Center
for Strategic and International Studies (SCIS) Jakarta.
Mengapa itu terjadi?
Proses demokrasi masih berjalan.
Namun kebelumsuksesan demokrasi, dalam arti sukses menyentuh esensi, jangan
membuat kita berpikir ke belakang dengan menyatakan, mengapa tak dikembalikan
ke zaman dulu ketika negara punya power luar biasa untuk mengatur rakyat.
Semua berjalan efektif, situasi
stabil. Kita jangan pernah lupa pada era lalu terjadi kekuasaan yang memonopli
segala, termasuk monopoli kebenaran, tak boleh ada perbedaan dan kritik. Semua
yang berani berbeda dan mengkritik dianggap kriminal, dicap subversif. Kita
sudahi saja masa itu, jangan kita ulang atau bangkitkan lagi.
Novelis terkenal asal Ceko, Milan
Kundera, mengatakan, “The struggle of man
against power is the struggle of memory against forgetting, perjuangan
melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa.“ Jangan kita lupakan masa
lalu yang kelam itu.
Mengapa pemimpin saat ini tak
begitu powerfull, ya demokrasi
sebenarnya memang membatasi pemimpin agar tak absolut. Jadi pemimpin era ini
tak bisa disamakan lagi dengan era sebelumnya. Selain itu, kita kini juga
mengalami perubahan budaya.
Perubahan budaya seperti apa?
Dalam budaya kita, termasuk
budaya Jawa, pemimpin ibaratnya mendapat wahyu Tuhan untuk memimpin. Tanpa
wahyu sehebat apa pun, dia tidak bisa berkuasa. Wahyu juga bisa diartikan garis
keturunan. Tanpa garis keturunan raja atau pemimpin, seseorang tak bisa jadi
pemimpin. Jadi muncul mitos-mitos pada diri pemimpin.
Saat ini mitos-mitos itu sirna,
tak ada lagi mitos ratu adil dan sebagainya. Karena masyarakat menilai pemimpin
adalah orang biasa yang terpilih berdasar mood masyarakat saat pemilu untuk
menjawab kebutuhan, keinginan saat itu. Mood masyarakat bisa dibentuk elite
politik dengan pencitraan, dengan perjuangan keras, juga karya nyata.
Ada yang berkemampuan biasabiasa
saja, tapi mood masyarakat bisa mengarah ke dia. Jadi sak-mood-e bae. Tertarik
pengusaha sukses, ya milih pengusaha sebagai pemimpin. Tertarik birokrat, ya
milih birokrat. Tertarik artis, ya milih artis. Tokoh muda, ya milihlah dia.
Juga tak ada yang melarang mencalonkan tokoh yang tak berpengalaman politik
sedikit pun.
Itu kan perubahan budaya yang
sangat signifikan. Memang ada yang saat menjabat menunjukkan kualitas, namun
kita tahu banyak yang korup dan mismanajemen. Namun apa pun moodrakyat saat
itu, mereka pasti punya standar minimal.
Apa standar minimalnya?
Pemimpin itu harus punya
pandangan tegas dan jelas, mau membawa bangsa ini ke mana. Kalau itu tak punya,
pasti serba-abu-abu. Kalau itu jelas, dia dapat merumuskan tahapan untuk
mencapai. Dia boleh berasal dari birokrat, purnawirawan TNI, pengusaha, artis.
Tapi semua harus punya standar minimal itu.
Di sinilah perlu kontrol terhadap
pemimpin. Itulah kaitan antara masyarakat yang memilih pemimpin dan masyarakat
harus memberikan masukan, kritik sebagai kontrol. Bila sistem tidak demokratis,
ya mekanisme kontrol tidak berjalan. Mengkritik bisa langsung dipidana.
Kebenaran hanya milik pemerintah.
Namun bila sistem demokratis pun
apa artinya bila kritik tidak ditanggapi. Kritik, saran, dan masukan rakyat tak
membuat dia berubah ke arah lebih baik. Jadi yang perlu kita lakukan bersama
adalah membuat sistem yang menjadikan pemimpin bisa membawa rakyat ke arah
lebih baik.
Seperti apa sistem itu?
Sistem itu harus bisa memberikan
hak kepada rakyat melalui diri sendiri atau wakilnya di parlemen untuk memberi
tahu sampai mengkritik pemimpin. Tentu itu juga tergantung pada budaya negara
masing-masing. Kalau rakyat sudah memberi tahu, memberi saran, masukan, sampai
kritik tidak mempan, ya kita sabar sampai pemilihan berikutnya kita hukum
dengan tak memilih pemimpin dan partai pendukungnya. Lalu, kita ganti orang
lain sambil berharap yang baru lebih baik. Sistem itu juga menjunjung supremasi
hukum. Jadi bila pemimpin melanggar hukum, dia tak berada lebih tinggi daripada
hukum sehingga dengan kekuatan politiknya menindas hukum.
Yang harus ada dalam sistem itu
adalah memberikan kesempatan pada rakyat untuk memproduksi pemimpin. Rakyat
harus memproduksi pemimpin melalui berbagai cara, antara lain melalui partai.
Partai harus menjadi institusi yang memberikan pendidikan politik bagi rakyat
dan bagi kader.
Bagaimana pendidikan politik partai saat ini? Berhasilkah mendidik dan
mengader?
Saya belum pernah menyaksikan
pengaderan partai yang memuaskan, kecuali di Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Itu mungkin subyektif, tetapi memang seperti itu. Partai-partai saat ini tak
begitu serius merekrut dan menyeleksi anak muda yang berminat berpolitik.
Akibatnya, saat hendak pemilu mau mencalonbkan siapa masih bingung. Akhirnya
merekrut tokoh dari luar yang punya karisma, daya jual tinggi, punya dana, demi
mendapat suara.
Saya melihat PKS merekrut orang
muda dan mengader dengan baik sehingga punya value, mendalami betul ideologi
dan cita-cita partai dan siap memperjuangkan cita-cita itu karena begitu yakin.
Cita-cita partai umumnya, bagaimana rakyat makin sejahtera, makin tak terbebani
pungutan resmi dan liar yang memberatkan, bagaimana peningkatan kualitas
pendidikan dan kesehatan di negeri ini, juga swasembada pangan.
Dalam pengaderan itu bukan hanya
dikuliahi, diceramahi, serta beraktivitas sosial di masyarakat. Itu hal
sekunder. Hal primer adalah bagaimana para kader mempunyai kesadaran tinggi
bahwa mereka calon pemimpin yang akan mendapat amanah besar, yaitu negara dan
bangsa ini. Mampulah berbuat terbaik bagi bangsa ini. Mari tingkatkan kemampuan,
mengader diri.
Itu harus ditanamkan secara
serius. Juga ada seleksi khusus untuk menyaring orang-orang berkualitas. Memang
itu kerja keras. Bukan kerja instan. Tak hanya partai, organisasi
kemasyarakatan juga bisa melakukan. Tapi partai memang perlu melakukan karena
jadi pemasok atau penentu orang yang diarahkan ke parlemen, kabinet, serta
pemerintahan.
Saat ini pengaderan hanya
formalitas; kegiatan selesai, ya selesailah. Juga sekarang makin sedikit orang
partai yang rela mati mengurus, mengader, menghidupkan partai. Kini bahkan
menjadikan partai batu loncatan. Setelah itu, partai kapiran ditinggalkan.
Bagaimana dengan penilaian, saat ini kita miskin sikap kenegarawanan?
Orang muda yang saat ini di
tampuk kepimpinanan sepertinya sudah terlalu jauh dari sejarah para negarawan.
Kita sudah jauh dari sejarah Natsir, sejarah IJ Kasimo, dan founding fathers.
Mereka saat sidang berdebat dengan gigih berdasar ideologi masing-masing,
tetapi tetap menjalin hubungan harmonis, penuh nurani, kaya spiritual sebagai
sesama manusia. Bisa berangkulan dan pulang bareng.
Sejarah tak pernah mengajarkan
betapa penting nilai-nilai seperti itu dengan benar. Sejarah diubah untuk
menonjolkan pihak tertentu dan seakan menenggelamkan nilai-nilai para negarawan
pada masa lalu. Pemaknaan terhadap sejarah sangat dangkal.
Hingga kini yang muncul adalah
pokoknya bisa memenuhi hasrat berkuasa, merebut kekuasaan, dengan segala cara,
dengan dagang sapi, politik uang, dan melupakan perjuangan untuk kepentingan
rakyat. Dengan kekuasaan bisa dengan mudah mencuri uang negara, dengan
kekuasaan bisa menyandera hukum, sehingga banyak orang bermasalah dengan hukum,
ingin menyelamatkan diri dengan masuk partai. Masuk partai ya dengan transaksi.
Jadi ya tidak keruan seperti ini.
Itu semua rangkaian proses yang
mendangkalkan demokrasi kita. Jadi bukan demokrasi sebenarnya, melainkan tak
lebih transaksi para elite yang ingin mengeruk keuntungan dengan berkuasa.
Ibaratnya jadi dangkal seperti pasar. Celakanya, kemerosotan sikap
kenegarawanan, kejujuran, etos kerja yang sangat memalukan juga terjadi pada
kehidupan riil di masyarakat. []
*sumber SUARA MERDEKA (15/4/2012)
hal. 2
http://www.pkspiyungan.org/2012/04/j-kristiadi-saya-belum-pernah.html
0 komentar:
Posting Komentar