"BBM, BLSM, Pencitraan Kah..?"
Oleh : Syamsul Bahri
Rencana pemerintah menaikkan
harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi pada pertengahan Juni mendatang,
ditanggapi beragam oleh berbagai kalangan. Baik mereka yang mendukung rencana
tersebut, maupun mereka yang terang-terangan menolak. Masing-masing pihak tentu
punya logikanya tersendiri yang menjadi dasar berfikir mereka dalam menilai
sebuah kebijakan.
Misalnya, kubu yang mendukung
rencana penaikan harga BBM ini berpandangan bahwa pemerintah harus berani
mengambil keputusan yang tidak populis ini. Mengingat subsidi BBM telah
menyedot ratusan Triliun Uang Negara setiap
tahunnya. Pada tahun 2013 saja, pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp. 193
Triliun dari APBN untuk subsisdi BBM sesuai UU No. 19 tahun 2012. Selain itu,
BBM bersubsidi yang sejatinya diperuntukkan bagi kalangan rakyat jelata, banyak
dinikmati oleh kalangan berada. Uang Negara yang sedemikian besarnya itu tidak
tepat sasaran. Jika subsidi terus diberikan, sama saja artinya dengan merogok
kantong negara untuk mengamankan isi 'dompet' orang kaya.
Apalagi populasi mobil pribadi
dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, sehingga konsumsi BBM
dipastikan bertambah pula yang implikasinya tentu pada biaya susbsidi yang akan
ditanggulangi negara untuk menstabilkan harga. Jika demikian, maka APBN akan
jebol dan sudah barang tentu Beban yang dipikul Negara kian berat.
Tidak hanya itu, mereka yang pro
kenaikan harga BBM mencoba berandai-andai. Seandainya uang negara Rp. 193
Triliun itu, dialihkan untuk membangun infrastruktur atau program pemerintah
yang menyentuh langsung kebutuhan rakyat, niscaya masyarakat akan merasakan
"kenikmatannya." Apalagi, masyarakat yang katanya miskin akan diberi
Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM-dulu BLT), sebagai konpensasi untuk
menutupi kekurangan anggaran belanja masyarakat miskin akibat kebutuhan pokok
yang dipastikan ikut naik sebagai imbas kebijakan pemerintah menaikkan harga
BBM nantinya.
Logika berfikir seperti ini
sah-sah saja menurut saya. Dan memang harus demikian, sehingga publik tahu dan
mengerti kenapa pemerintah mengambil keputusan sedemikian beratnya itu.
Sebaliknya, mereka yang kontra
dan menolak rencana pemerintah berpandangan bahwa pemerintah gagal mengelola
energi dan dianggap tidak pernah serius membangun infrastruktur maupun
suprastruktur yang mendukung proses tata kelola energi yang berdaulat.
Misalnya, mekanisme impor minyak mentah oleh Pertamina yang tidak transparan.
Sehingga memberikan keleluasaan bagi tangan-tangan kotor yang mencoba bermain
dan mengambil keuantungan sebesar-besarnya dari "kerahasiaan"
mekanisme impor pemerintah ini. Apalagi proses pengadaan minyak mentah ini
tidak dilakukan di dalam negeri, tetapi di luar negeri, Yaitu di Singapura.
Selain itu, subsidi BBM yang
terlalu besar juga diakibatkan oleh kelalaian impor BBM yang telah dilakukan
pemerintah selama bertahun-tahun. BBM yang diimpor pemerintah adalah BBM
berkualitas Pertamax (RON 90 dan 92) karena BBM RON 88 sudah jarang diproduksi
Negara lain. Untuk menghasilkan BBM jenis Premium (sebagaimana jenis BBM yang
disubsidi APBN), maka pemerintah harus menurunkan RON nya menjadi 88, yaitu
dengan mencampurkan BBM Impor tersebut dengan Naptha (cairan perubah angka
oktan). Praktik seperti ini justru meningkatkan cost BBM hingga harga
keekonomian Premium menjadi lebih dari Rp.9.500/liter, bahkan disinyalir justru
lebih mahal dari Pertamax, sehingga besaran subsidi BBM secara keseluruhan
membengkak.
Kelalaian impor BBM yang telah
bertahun-tahun ini seolah-olah dibiarkan pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari
arus minyak nasional yang tidak mengalami perubahan signifikan selama 5 tahun
terakhir ini. Selain impor BBM meningkat, impor minyak mentah juga terus
terjadi karena minyak mentah hasil perut bumi Indonesia di ekspor. Minyak
mentah Indonesia di ekspor karena tidak sesuai dengan spesifikasi kilang minyak
dalam negeri. Seandainya, pemerintah serius membenahi pengelolaan energi
nasional, tentulah kilang-kilang minyak dalam negeri akan dibangun sesuai
spesifikasi minyak mentah Indonesia, untuk menghindari impor BBM yang terus
meningkat.
Alasan berikutnya adalah rencana
pemerintah menggelontorkan program BLT atau BLSM. Niat pemerintah ini dianggap
syarat muatan politik dan hanya sebagai pencitraan belaka yang akan menjadi
"air suci" yang mensucikan pemerintah dari segala kotoran dan dosa
politik yang telah mereka perbuat selama ini.
Anggapan tersebut cukup
beralasan. Dilihat dari skenario 2008 yang dilakukan pemerintah. Pada tanggal
24 Mei 2008 harga BBM dinaikan menjadi Rp.6.000/liter, lalu pada 1 Desember
2008 diturunkan menjadi Rp.5.500/liter, pada tanggal 15 Desember 2008
diturunkan lagi jadi Rp.5.000/liter, dan pada
15 Januari 2009 (persis 3 bulan sebelum Pemilu 2009) harga BBM
diturunkan lagi menjadi Rp.4.500/liter. Sehingga ada 2 keuntungan politis yang
dirampas pemerintah, pencitraan lewat pembagian BLT dan pencitraan dengan
penurunan harga BBM hingga 3 kali.
Pernyataan yang cukup pedas juga
datang dari pengamat ekonomi dan kebijakan publik, Ichsanudin Noorsy yang
menyebut program Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) berasal dari
utang negara. Buktinya, menurut Dia, hal tersebut tertera di laman situs Asian
Development Bank (ADB) yang menyatakan bahwa BLSM bersumber dari ADB dengan
nama singkatan proyek DPSP (Development
Policy Support Program). Selain itu, juga dibiayai oleh Bank Dunia (World Bank)
dengan sumber utang dengan nama proyek DPLP tahap 3.
Dari beberapa argumentasi yang
disampaikan oleh kedua belah pihak tersebut, maka Saya dapat menyimpulkan:
1. Subsidi BBM telah membebani
keuangan negara hingga Rp. 193 Triliun dari APBN 2013. Hal tersebut sangat
wajar, mengingat kebijakan pemerintah dalam tata kelola energi tidak transparan
dan terkesan di abaikan.
2. Tidak sepatutnya, kesalahan
tata kelola energi oleh pemerintah, dibebankan kepada rakyat secara merata.
Padahal, kesalahan tersebut bersumber dari pemerintah itu sendiri.
3. Seharusnya, pemerintah lebih
serius membangun infrastruktur yang mendukung proses tata kelola energi dalam
negeri. Seperti kilang minyak sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan Sehingga minyak mentah hasil bumi yang
seharusnya diolah di dalam negeri, tidak terus-menerus di ekspor ke luar
negeri, padahal kebutuhan energi dalam negeri belum sepenuhnya dapat terpenuhi.
4. Bantuan Langsung Sementara
Masyarakat (BLSM) bukanlah solusi yang tepat untuk membantu kesulitan
masyarakat. Mengingat aroma nuansa politik dibalik program tersebut susah
disembunyikan, apalagi Pemilu 2014 sebentar lagi akan digelar.
5. Jika memang apa yang disampaikan
oleh pengamat Ekonomi dan Kebijakan publik, Ichsanudin Nursy itu benar adanya,
maka sesungguhnya pemerintah telah menggadaikan kadaulatan negeri ini kepada
pihak asing. Kemudian menutupi semua itu dengan kedok memberikan BLSM.
6. Sebaiknya pemerintah berfikir
ulang, mengingat pada waktu tersebut bukan saat yang tepat untuk menaikkan
harga BBM. Karena bertepatan dengan bulan Ramadhan dan persiapan Idhul Fitri
serta Tahun Ajaran baru. Di mana, pada masa itu inflasi dipastikan juga akan
meningkat.
7. Jika pemerintah bersikukuh
dengan pendiriannya, maka saya juga menyerukan masyarakat Indonesia menyatakan
sikap, "Tolak Kenaikan Harga BBM!" Sekian.
0 komentar:
Posting Komentar