Saya mulai mengenal Abi (Ayah
dalam bahasa Arab) mulai tahun 2001, tepatnya tanggal 28 Januari
2001/3 Dzulqaidah 1421 H. Pada hari itu kami mulai saling mengenal, Itulah hari
pernikahan kami.
Sebelum itu saya tak mengenal Abi lebih dari rekan satu organisasi. Ketika kuliah, kami memang dalam satu organisasi, KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) Nusa Tenggara Barat. Namun saya tidak terlalu mengenal Abi. Karena waktu itu kami cuma berkomunikasi dalam rapat-rapat, sehingga saya hanya mengenal beliau melalui pola fikir dan gagasannya dalam menjalankan roda organisasi. Pada waktu itu, saya hanya mengenal beliau sampai pada tataran itu saja, sementara karakter “secara pribadi” tidak terlalu saya ketahui.
Karenanya, tidak ada kesan apa-apa terhadap beliau sebelumnya. Karena di organisasi, komunikasi dan interaksi yang terjadi hanya sebatas urusan-urasan yang menyangkut organisasi. Untuk urusan itu, paling saya ingat hanya saat aksi, bagaimana beliau orasi dan All Out-nya dalam menjalankan aktifitas dakwah.
Dalam ikhtiar menuju jenjang pernikahan, saya sendiri tidak pernah
menyangka akan menjalani proses ta’aruf bersama beliau. Karena itulah, ketika
Murabbi menyerahkan nama beliau, seketika saya gemetar, perasaan kaget
bercampuraduk, tak menyangka sama sekali. Hanya saja yang menguatkan saya waktu
itu adalah bahwa beliau dibawa oleh Murabbi/Murabbiyah kami. Sehingga saya kemudian
istikharah dan memutuskan untuk menjalani proses ta’aruf bersama beliau.
Dalam prosesnya, kendala perbedaan suku, pilihan
pekerjaan dan lain-lain Alhamdulillah bisa kami atasi. Awalnya memang ada
keberatan-keberatan, tapi kami sudah bisa memahamkan pada keluarga tentang
pilihan pasangan hidup kami nantinya seperti apa, hingga keberatan-keberatan
tersebut bisa dihilangkan. Alhamdulillah Allah SWT menakdirkan kami berjodoh
dan membina keluarga.
Setelah menikah, dalam perjalanannya harus diakui ada beberapa
perbedaan kebiasaan hidup dan latar belakang kultur beda ternyata cukup
menguras energy saya dalam menata hidup
bersama. Gubrak beneeerrrr… kalo ingat jadi lucu… tapi asyik romantis. :)
Namun seiring berjalannya waktu kami akhirnya bisa beradaptasi dengan hal itu, saling mengenal satu sama lain. Sebagai kepala keluarga Abi itu sosok yang pengayom dan pendengar yang baik. Awal-awal
dulukan namanya kita belum kenal sebelumnya. Butuh waktu untuk kami saling
mengenal karakter, butuh waktu untuk mengenal beliau. Tapi Abi enjoy aja sama
saya, malah saya yang butuh belajar banyak pada beliau. Abi itu tidak banyak
menuntut, selalu bersikap santai dan menerima saya apa adanya. Malah saya aja
yang kadang-kadang masih punya standar tertentu. :D
Beliau itu sosok yang selalu menempatkan
istri setara dengan beliau. Dalam artian, apa yang menjadi potensi dan minat
saya, Abi selalu dukung untuk teraktualisasi dan tereksplore. Abi itu sosok
suami yang selalu memberi motivasi agar istri terus tumbuh dan berkembang dalam
keilmuan maupun kemampuan.
Beliau komunikatif, peka dan terbuka. Beliau akan segera tau saya
sedang bad mood atau tidak, dengan melihat wajah saya. Kalau pun kadang agak
telat tau kondisinya, tapi itu bukan karena di sengaja, hanya karna beliau
benar-benar sedang sibuk dengan amanah-amanah dakwah. Akan tetapi begitu ketika
sudah sempat, maka beliau akan langsung tau dan dengan segera meminta saya
bercerita tentang masalah apa yang saya hadapi.
Prinsip-prinsip kejujuran dan
keterbukaan itulah yang selalu berusaha kami terapkan dalam rumah tangga.
Apapun itu harus kami komunikasikan. Misalnya ada hal yang tidak saya suka,
maka saya akan bilang saya tidak suka. Beliau tidak suka jika ada hal yang
tidak kami sukai tapi karena alasan sungkan atau tidak enak atau untuk menjaga perasaan
lalu kami bilang suka pada hal yang sebenarnya tidak kami sukai.
Beliau selalu memberi saya ruang. Ruang kebebasan untuk
bersuara, berpendapat, menyampaikan kritik, juga menumpahkan masalah. Saya
tidak merasa takut untuk menyampaikan apapun. Karena beliau selalu memberi saya
kesempatan untuk menyampaikan. Beliau sangat lapang dada dan selalu bersedia
mendengarkan.
Abi tidak suka membiarkan saya
menyimpan atau menangung masalah sendiri. Beliau juga tidak mau masalah kami di
bawa keluar lalu curhat pada orang lain. Masalah adalah masalah kami. Maka
kamilah yang harus membicarakannya. Dengan begitu akan menemukan solusi atas
permasalahan kami.
Buat Abi, memuliakan istri yang seharusnya adalah dengan bersikap jujur
dan terbuka. Apapun masalah, ditanggung bersama. Itu juga merupakan bukti
bahwa sebagai pasangan kita bisa saling mempercayai dan mengandalkan.
Kalau sama anak-anak, Abi itu
suka main. Abi juga sangat menerima anak-anak apa adanya. Abi membiarkan
anak-anak tumbuh sesuai dengan karakter dan potensi mereka. Prinsip Abi “anak-anak
itu bukan seperti kita, anak-anak punya gayanya sendiri”. Jadi anak-anak
dibebaskankan untuk melakukan apa saja sesuai dengan kebutuhan aktualisasi dan
perkembangan mereka.
Tapi abi tetap punya batasan
tegas dalam memberi kebebasan apada anak-anak. Misalnya untuk hal yang terkait
aqidah dan ibadah. Kebebasan yang diberikan abi kepada anak-anak adalah sebatas
tidak melanggar syari’at.
Abi juga banyak memberikan
kepercayaan pada anak-anak. Kepercayaan yang didalamnya ditanamkan rasa
tanggung jawab. Misalnya seperti pengunaan tekhnologi. Abinya memberikan
fasiltas pada mereka. Dan abinya bilang “ini abi berikan sarana, tapi kalian
bisa tanggung jawab tidak?” Termasuk dalam pengunaan media online seperti
Facebook. Abinya mengizinkan.
Hal ini awalnya membuat saya
kebat-kebit. Sebagai ibu saya tentunya lebih protektif dan lebih banyak
khawatir. Tapi abinya selalu bisa menenangkan saya dengan memberikan alasan dan
penjelasan yang logis atas sikap dan kebijakannya pada anak-anak. Abi juga
tidak banyak menuntut anak-anak harus seperti apa dan bagaimana. Berbeda dengan
saya yang perfectsionis dan lebih banyak menuntut anak-anak harus seperti apa
dan bagaiamana.
Dan Abi akan selalu mengingatkan
saya bahwa yang dibutuhkan anak bukan dokrin tapi arahan. Abi memang tidak mau
terlalu jauh mendoktrin anak-anak. Abi lebih suka memberi arahan. Memberi
pemahaman pada anak-anak.
Abi itu jarang ada waktu khusus
untuk keluarga. Misalnya sehari penuh untuk jalan-jalan, itu jarang. Tapi Abi sangat
pintar memanfaatkan waktu menjadi efektif dan berkwalitas untuk keluarga.
Beliau bisa “masuk” ke anak-anak di sela kesibukan dan padatnya aktivitas.
Bahkan jika itu hanya 5-10 menit. Beliau memanfaatkan waktu untuk bermain
dengan anak-anak. Dan hal itu intens. Meskipun tidak lama, sikap itu mampu “menyentuh” anak-anak dan membuat
anak-anak merasa terpenuhi kebutuhannya terhadap Abinya.
Abi juga memanfaatkan teknologi
serta media online unntuk memantau perkembangan dan kondisi anak-anak. Biasanya
anak-anak suka menulis apa yang mereka alami dan lakukan di status facebook.
Dan Abi selalu memantau anak-anak di media online.
Beliau bisa saling kontak menanyakan
aktifitas dan lagi di mana lewat media itu, juga lewat sms. Abi selalu
menyempatkan diri untuk menelpon anak-anak. Sekedar menanyakan sudah makan atau
sholat. Dan anak-anak merasa bahagia dengan itu. Mereka tetap merasakan
perhatian dan kehadiran Abinya di tengah mereka.
Kalaupun ada masalah anak-anak
yang perlu curhat ke abinya, itu membutuhkan waktu khusus. Dalam hal ini
sayalah yang mengambil peran. Tapi nanti saya akan menyampaikan inti
permasalah/curhat anak-anak ke abinya. Dan pada saat sempat di tengah istirahat
dari aktivitas, beliau akan menelpon anak-anak untuk di ajak bicara. Lalu
memberikan nasehat serta arahan.
Dari awal menikah, kami sudah
saling memahami aktivitas dan amanah. Begitu juga keluarga sudah kami berikan
pemahaman sejak proses pernikahan. Adapun anak-anak, sejak kecil sudah kami
libatkan dalam setiap kegiatan, maka dengan sendirinya anak-anak sudah mengerti
bagaimana aktifitas dan kesibukan abi-umminya. Jadi dukungan itu datang dengan
sendirinya.
Abi itu orangnya Esay Going. Tidak pernah pusing menanggapi
masalah-masalah yang datang dari eksternal. Seperti masalah di kantor misalnya,
Abi selalu bersikap santai menghadapi masalah dan tidak pernah membawa masalah
ke rumah.
Tapi berbeda jika masalah dating
dari internal. Misalnya dari saya. Abi pernah bilang “sebesar apapun masalah
yang abi temui di luar, tidak pernah abi anggap masalah. Tapi kalo ummi yang
kenapa-kenapa, pusing dah Abi” ^_^
Itulah sebabnya Abi selalu
berusaha mengkondisikan agar di internal itu tetap stabil. Dengan tidak
membiarkan masalah berlarut dan terpendam. akan berbahaya jika ada masalah di
internal. Karna itu akan mengacaukan kerja beliau di luar.
Sebenarnya masih banyak hal lagi tentang Abi. Tapi kalau diteruskan lagi mungkin tidak akan pernah ada habisnya.
Sebagai manusia biasa, beliau juga tidak luput dari kekurangan. Namun selama
kami hidup bersama dalam rumah tangga, dan selama beliau hadir dalam diri saya,
“bagi
saya beliau adalah sosok suami yang sempurna” InsyaAllah… Aamiin….
*Wahidah, SE
Istri dari Johan Rosihan
Ibu dari lima buah hati kami
0 komentar:
Posting Komentar