Ada yang menarik
perhatian saya di Koran Kompas edisi cetak
2 April 2013 kemarin. Di halaman ke dua, salah satu media ternama ini menulis “SBY
Ketum Demokrat Menteri Leluasa Urus Partai”. Respon saya dalam tulisan ini
mungkin agak terlambat, tapi saya kira itu sudah jadi konsekuensi untuk orang
desa yang jauh dari Kompas seperti saya ini. Namun telat bukan berarti tak
boleh menanggapi atau memberi opini bukan?
Melihat isinya,
judul itu merespon sikap SBY sebagai seorang Presiden yang makin sibuk dengan
urusan partainya. Seperti diketahui, Kongres Luar Biasa Partai Demokrat di Sanur, Bali, yang berlangsung pada 30-31 Maret 2013 yang lalu memutuskan
SBY sebagai Ketua Umum (lagi) yang menggantikan posisi Anas Urbaningrum. Dan
sejak itu, jadilah SBY sebagai pemegang seluruh posisi strategis di Partai
Demokrat. Dan mungkin bisa menjadi pembenaran bagi Menteri-Menteri yang rangkap
jabatan untuk terlibat mengurus partainya, seperti SBY.
Rangkap jabatan memang tidak
melanggar aturan apapun, namun dari segi kepatutan dan kelayakan sungguh tidak
patut dan tidak layak. Untuk keberhasilan suatu organisasi, apalagi setingkat
Negara dibutuhkan fokus sefokus-fokusnya dari sang pengelola negara. Ketika
seorang politisi ber-metamorfosa menjadi seorang negarawan, maka dipundaknya
disandang kewajiban terhadap bangsa dan Negara, lupakan kepentingan Parpol yang
hanya mengadopsi kepentingan sebagian kecil komponen bangsa.
Ketidaklayakan ini ternyata sudah
lama terjadi, bahkan jauh sebelum KLB Demokrat. Sederet nama dan jajaran Partai
Demokrat mengisi pos-pos Menteri di KIB II, seperti Jero Wacik, Syarif Hasan, EE
Mangindaan, dan Marzuki Ali sebagai ketua DPR. Di partai lain ada nama Hatta
Rajasa, di KIB II ia menjabat sebagai
Menko Prekonomian dan di Partai Amanat Nasional juga sebagai Ketua Umum Partai.
Muhaimin Iskandar, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi ini juga menjabat
sebagai Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa. Surya Darma Ali, Menteri Agama
juga Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan. Agung Laksono, Menko Kesra yang
dipartai Golkar menjadi Wakil Ketua DPP. Dan masih ada sederet nama lagi,
pejabat era SBY ini juga merupakan pejabat di partaianya masing-masing.
Bagaimana dengan PKS?
Dalam KIB II, sampai saat ini ada
tiga tokoh yang dibesarkan oleh partai ini (PKS). Satu, Tifatul Sembiring sebagai Menteri Komunikasi. Dua, Suswono menjabat sebagai Menteri
Pertanian. Dan tiga, Salim Segaf Al
Jufrie sebagai Menteri Sosial. Namun apakah ketiganya merangkap jabatan dengan
jabatan partai?
Yang saya tau, sejarah telah
mencatat bahwa kader-kader PKS yang menjabat sebagai pejabat publik selalu
mengundurkan diri (melepas) jabatan partainya. Bahkan aturan akan tidak bolehnya
rangkap jabatan ini pun tercantum dalam AD/ART PKS. Jadi, siapa pun kader PKS
yang terpilih menjadi pejabat public, maka dia akan secara otomatis akan
meninggalkan jabatan kepartaian dan fokus
pada tugas-tugasnya sebagai abdi Negara.
Coba kita runut satu persatu dari
sejarah partai ini. Nur Mahmudi Ismail, adalah Presiden Partai Keadilan (cikal
bakal PKS). Saat menjabat sebagai Menteri pada kabinet era pemerintahan Gus Dur,
Nur Mahmudi melepas jabatannya sebagai Presiden PK dan fokus mengerjakan tugas-tugasnya
sebagai Menteri Kehutanan.
Hidayat Nur Wahid (HNW) yang
meneruskan tugas Nur Mahmudi pun melepas jabatannya sebagai Presiden PKS,
ketika ia menjabat sebagai ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat periode 2004 –
2009. Tugas HNW kemudian dilanjutkan oleh Tifatul Sembiring.
Pada masa pemerintahan Kabinet
Indonesia Bersatu Jilid II, Tifatul Sembiring ditunjuk sebagai Menteri
Komunikasi. Sehari setelah penunjukannya oleh SBY, Tifatul Sembiring kemudian
mengajukan surat pengunduran dirinya sebagai Presiden PKS.
Jabatan yang ditinggalkan oleh
Tifatul kemudian diisi oleh Luthfi Hasan Ishaaq. Masa jabatan LHI sebagai Presiden
PKS tergolong singkat, karena dirinya tersandra dalam “konspirasi” kuota daging
sapi impor yang menyebabkan dirinya “disangkakan” oleh KPK. Ingin fokus untuk
menjalani proses hukum yang dihadapinya dan tidak ingin menjadi beban partai,
LHI pun mundur dari jabatannya sebagai Presiden PKS.
Kursi kepresidenan di PKS selanjutnya
diisi oleh Anis Matta, dan tanpa basa-basi Anis Matta pun menyampaikan
pengunduran dirinya sebagai Ketua DPR sekaligus keanggotaannya sebagai anggota
DPR di orasi pertamanya sebagai Presiden PKS. Banyak kalangan yang tertegun menyaksikan keterangan Anis Matta ini.
Jabatan yang sebagaian besar orang sangat mengingin-inginkannya itu dilepas
begitu saja ketika menjadi Presiden PKS.
Bagaimana dengan Suswono dan Salim Segaf? Di PKS mereka berdua adalah kader PKS, tak lebih dari itu. Jabatan Salim sebagai Anggota Majelis Syuro PKS bukanlah jabatan teknis dan strategis yang mengharuskan untuk turun langsung mengurusi partai. Majelis Syuro di PKS tugasnya sebatas memberikan pertimbangan dan masukan untuk partai.
Jadi sampai pada detik ini, penulis
(kita semua) belum menemukan cacatan sejarah adanya tokoh-tokoh PKS yang
merangkap jabatan sebagai pejabat publik dan pengurus partai. Dan sekali lagi
hal ini menegaskan bahwa PKS tak ada dan tak akan pernah ada apa yang disebut
dengan rangkap jabatan. Karena AD/ART partai sudah jelas mengatur itu semua. Seperti
kata Tifatul dalam twiitnya @tifsembiring “rangkap-rangkap bukan tradisi kami
(PKS).”
Wahyu Permadi
Humas PKS Lotim
0 komentar:
Posting Komentar