Menurut beberapa catatan sejarah,
desa tertua di Pulau Lombok bernama Desa Perigi. Desa ini terletak (saat ini)
di Kecamatan Pringgabaya Kabupaten Lombok Timur. Catatan lainnya yang
menyebutkan bahwa desa pertama dan tertua di Pulau Lombok adalah sebuah desa
yang dikenal dengan sebutan Desa Laek (desa lama) yang diperkirakan terletak di
sekitar Kecamatan Sambelia sekarang.
Pada suatu masa Desa Perigi ini
dilanda musibah yang sangat mengenaskan, yaitu banjir bandang yang disebabkan
oleh meluapnya air Danau Segara Anak sehingga menyebabkan hanyut dan
tenggelamnya Desa Perigi tersebut. Sebagian masyarakat pergi mengungsi ke
daerah pegunungan untuk menyelamatkan diri. Setelah banjir reda seluruh
masyarakat Desa Perigi yang selamat (raja beserta rakyatnya) pergi meninggalkan
desanya dan mencari tempat baru untuk dijadikan sebagai tempat tinggal, tempat
baru ini dikenal dengan Labuan Lombok yang terletak di Kabupaten Lombok Timur.
Di tempat inilah, kehidupan baru dimulai.
Setelah berjalan beberapa
generasi, maka pada suatu saat raja memerintahkan kepada sebagian rakyatnya
untuk meninggalkan Desa Labuan Lombok dengan tujuan untuk mencari tempat yang
masih kosong untuk dijadikan tempat tinggal yang baru. Diantara
kelompok-kelompok masyarakat itu, ada yang singgah kemudian menetap diantara
desa-desa yang sekarang ini bernama : Desa Borok Dadap, Desa Sukatain, Desa
Langko, dan Desa Sukamulia. Penduduk Desa Sukamulia inilah yang kemudian
menjadi cikal bakal penduduk Desa Lenek sekarang ini.
Desa Lenek, dahulu bernama Desa
Sukamulia, penduduknya saat itu hanya berjumlah 140 orang. Jumlah 140 ini tidak
bisa berkembang biak, entah karena apa, ada yang mengatakan kalau masalah ini akibat pengaruh desanya. Pada
masa itu yang menjadi Penoak Desa (Pimpinan Desa) bernama BALOQ DASA. Baloq
Dasa hanyalah pimpinan desa (bukan seorang raja), tetapi dalam menjalankan
tugas keseharian memimpin desa, beliau dibantu oleh Patih yang berjumlah empat
orang. Adapun keempat patih tersebut adalah : Patih Tembeng Bagia, Patih Si
Nyiur, Patih Demung Papak, dan Patih Ramban Biaq.
Pada suatu hari Patih Ramban Biaq
beserta ketiga patih lainnya diutus oleh Baloq Dasa pergi ke Kerajaan
Selaparang untuk melaporkan kepada raja disana tentang kondisi masyarakat desa
Sukamulia yang tidak bisa berkembang. Singkat cerita, Raja Selaparang mengutus
ke-empat patih tersebut untuk pergi menemui salah seorang keluarga raja di Desa
Benoa (Kerajaan Benoa) di Lombok Tengah,
untuk menjemput orang yang bernama Wirangbaya (Raden Wirangbaya).
Setelah rombongan sampai di Desa
Benoa, mereka semua kemudian menyampaikan kepada Raja Benoa, bahwa Raja
Selaparang telah mengangkat orang yang bernama Raden Wirangbaya untuk menjadi
pimpinan di Desa Sukamulia. Dan untuk membantu tugas-tugas Raden Wirangbaya,
maka Raja Selaparang berkenan memberikan pengiring/pengikut sebanyak 160 orang,
serta dibekali dengan beberapa buah pusaka oleh raja antara lain : 1 buah
Boneka Patung Kucing Mas (Meong Mas), boneka kucing yang di saput atau dilapisi
emas murni, Keris Pusaka yang juga di lapisi emas, yang diberi nama Si
Papak/Bung Papak, Sabuk Belo dan beberapa buah tombak serta beberapa pusaka
lainnya
Setelah beberapa tahun memimpin
Desa Sukamulia yang berpusat di Presak Lenek (sekarang menjadi desa pemekaran
yang bernama Desa Lenek Pesiraman), Raden Wirangbaya selanjutnya memindahkan
pusat pemerintahannya kesebelah utara sejauh lebih kurang satu kilometer,
perkampungan baru yang pertamakali dibuat itu di beri nama Gubuk Koloh Petung,
akan tetapi oleh masyarakat dulu dikenal dengan sebutan LENDEK (bergeser,
pergeseran, atau perpindahan sejauh 1 km), kemudian lama kelamaan oleh
masyarakat dikenal dengan sebutan LENEK. Tidak ada catatan tertulis seputar
waktu perpidahan tersebut, hanya saja
pada waktu itu diketahui bahwa agama Islam sudah masuk dan berkembang di Desa
Sukamulia ini walaupun belum begitu pesat.
Dalam beberapa informasi tersebut
bila dihubungkan dan ditilik data tentang sejarah masuknya agama Islam di
Lombok yaitu sekitar abad ke 16 hingga pertengahan abad ke 18, maka bisa
diperkirakan Raden Wirangbaya melaksanakan rencana pemerintahannya itu adalah
sekitar antara akhir abad ke 16 atau awal abad ke 17.
Setelah berpindah tempat jumlah
penduduknya pun sudah mulai berkembang dengan cukup pesat, ini terjadi karena
telah “dimulainya” perkawinan antara penduduk Sukamulia yang berjumlah 140
orang dengan pengikut Raden Wirangbaya yang berjumlah 160 orang. Di masa inilah
kemudian Raden Wirangbaya mengutus ke empat orang patih tersebut untuk pindah
ketempat yang masih berada dibawah kekuasaannya untuk menjadi wakilnya didalam
memerintah di tempat wilayahnya masing-masing.
Patih Demung Papak diperintahkan
untuk menuju kesebelah barat desa yang dinamakan Dasan Paok Pondong, disini
Patih Demung Papak ini berdomisili dan menjalankan tugasnya sebagai wakil dari
Raden Wirangbaya. Patih Tembeng Bagia diperintahkan untuk menuju kesebelah
selatan desa tepatnya di Dusun Dasan Tembeng, sementara itu Patih Si Nyiur juga
menuju ke selatan, hanya saja kalau Patih Tembeng Bagia ke selatan barat, maka
Patih Si Nyiur keselatan bagian timur, dan di tempat yang diperintah oleh Patih
Si Nyiur inilah yang sekarang dikenal dengan nama Dasan Nyiur sesuai dengan
nama Patihnya, sedangkan Patih Ramban Biak diperintahkan menuju kesebelah utara
desa yang kemudian daerah itu dinamakan Dasan Ramban Biak.
Untuk memperdalam pengetahuan dan
pemahaman agama pada masyarakat/rakyatnya maka Raden Wirangbaya memerintahkan
untuk mendirikan sebuah bangunan sarana peribadatan sebagai tempat mengajar
agama Islam yang dinamakan pesanteren, atau yang oleh masyarakat setempat
biasanya disebut Santeren. Pada saat pertama kali didirikan santeren itu
dinamakan Santeren Mulang, dinamakan demikian karena memang tempat itu
digunakan untuk mengajarkan ajaran-ajaran agama (Mulang berasal dari bahasa
jawa yang berarti Mengajar). Tetapi entah karena apa akhirnya lama kelamaan
nama santeren Mulang berubah menjadi Santeren Malang. Dari hal ini dapat
diketahui seberapa besar pengaruh jawa (Majapahit) terhadap kehidupan rakyat
Desa Lenek waktu itu, dan juga sampai dengan hari ini.
Selain itu juga didirikan sebuah
tempat pemandian yang tujuannya adalah disamping untuk tempat mandi, juga
sebagai tempat rekreasi maupun istirahat, tempat ini dinamakan Pesirman.
Kemudian seperti halnya pada banyak kejadian maka nama itupun saat ini lebih
dikenal dengan nama Pesiraman.
Dari proses kesejarahan tersebut,
maka walaupun secara geografis letak desa lenek demikian adanya, akan tetapi
kultur atau budaya masyaraktnya tetap memiliki banyak kesamaan. Hal ini juga
yang menyebabkan mereka tetap merasa satu, sebagai salah satu buktinya adalah
bahwa tidak jarang terjadi sekelompok keluarga yang berdomisili di ujung utara
desa masih bersaudara dengan yang di ujung selatan maupun lainnya, faktor pendukung
lainnya adalah terdapatnya beberapa peninggalan sejarah, seperti bekas masjid
tua ” Masjid Presak” (Presak = bekas pusat pemerintahan desa yang ditinggalkan)
dan bekas tempat pakaian orang tua yang di sebut MIJO.
Sampai saat ini masyarakat Desa Lenek
adalah merupakan salah satu masyarakat yang masih mampu melestarikan budaya
daerah setempat dalam lingkaran hidupnya, baik yang berupa upacara yang
bersifat ritual maupun upacara lainnya. Beberapa upacara daur hidup yang masih
dilestarikan oleh masyarakat desa lenek diantaranya adalah Upacara Khitanan,
Kelahiran, Perkawinan, juga Kematian.
Selain itu ada juga beberapa
upacara yang berkaitan nilai agama yaitu, Upacara Bubur Putek (tanggal 10
Muharam), Upacara pembuatan Bubur Abang (tanggal 10 Syapar), Upacara Mulut Adat
(tanggal 12 Rabiulawal), serta ada pula upacara yang berkaitan dengan alam
misalnya, Begawe Belauq, Upacara Ngalu Ujan, Upacara Betetulak, Upacara
Ngayu-ayu
Upacara Adat Mulut Bleq merupakan
salah satu bentuk upacara ritual pada masyarakat Lombok Timur, khususnya yang
berada di desa Lenek yang berlangsung secara turun temurun dari dulu sampai
saat ini, upacara ini dimaksudkan untuk memperingati kelahiran nabi besar
Muhammad SAW dengan secara adat, dimana pelaksanaan upacara ini dimulai dari
tanggal 10 sampai dengan 15 Rabiulawal pada setiap tahunnya. Upacara Mulut Bleq
diawali dengan pengeluaran Sabuk Belo kemudian dilanjutkan dengan acara
Pepaosan, Pembuatan Minyak Obat dan acara puncaknya ialah Praja Mulud. Pada
siang harinya acara dilanjutkan dengan pengajian, penyantunan Anak Yatim Piatu
dan pemberian makan kepada semua mahluk. Sedangkan pada malam harinya
diramaikan dengan berbagai macam kesenian sasak.
Sabuk Belo disini merupakann
simbol yang melambangkan ikatan persaudaraan, Kekeluargaan, Persatuan dan
Kestuan antara sesama mahluk, sebagaimana yang tertulis dalam sastra sasak ”
Belo tetandan ta entiq, Pait pria ta kaken, Teguq tegeng maraq batu, Kekah
datan keneng obah, Tulus karang jari apur”, atau dalam Al’Quran di sebutkan ”
Wa’tasimu- bihabblillahijami’an wala tafarraqu”
Berkaitan dengan pemberian makan
kepada semua mahluk hidup, hal ini merupakan tujuan Nabi Muhammad yang diutus
oleh Allah SWT sebagai penyelamat alam semesta (Rahmatan Lil Alamin) atau dalam
sastra sasak disebutkan “mel bao mel bawaq, maraq aiq dalem selao (Memayu
Hayuning Bwana)”, yang dilandasi dengan sifat kasih sayangnya terhadap segala
sesuatu (hanngelampahkan agung dana nira)
Pada dasarnya seluruh rangkaian
upacara adat “Mulut Bleq” adalah merupakan penghayatan kepada Tuhan Yang Maha
Esa bagi masyarakat adat. Tentunya memperingati hari kelahiran Nabi Besar
Muhammad SAW mempunyai makna khusus dan dalam karena sebagai masyarakat adat
unsur menembah, Pasrah kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah faktor yang dominan di
dalam hidup dan kehidupan.
Di dalam menembah dan pasrah
kepada Tuhan Yang Maha Esa tersebut perlu diingat bahwa unsur kebersihan
jasmani dan rohani sangat dominan. Mengingat bahwa sang pencipta bersifat Maha
Suci, maka hanya dengan kesucian jasmani dan kesucian jiwalah kita dapat sampai
kepadanya. Oleh karena itulah bagi para masyarakat penghayat, momen Mulut Bleq
merupakan titik tolak untuk merenung, menilai, dan mengintrofeksi diri sendiri
sekaligus untuk meneladani segala prilaku dan perjalanan hidup Rasulullah
Wassalam
Oleh : Budi Darma
Narasumber :
Maspakel Dane Rahil
ORGANISASI ADAT SABUK BELO
Alamat: Pesenggrahan Dane Rahil –
Desa Lenek Daya Kec. Aikmel – Kab. Lombok Timur – NTB, Indonesia
Sumber: Sasak.org
0 komentar:
Posting Komentar