Rasanya sulit membayangkan pada
zaman materialistis seperti sekarang ini masih ada orang yang berkomitmen pada
hidup zuhud. Sebab gaya kehidupan masyarakat umumnya lebih berorientasi pada
dunia. Meraih sukses pun mau tidak mau harus berani nyerempet perkara subhat bahkan
haram. Bagi mereka itu sah-sah saja, karena orang lain rata-rata begitu.
Namun benarkah keraguan yang
sudah menjadi opini umum di atas? Opini bahwa orang zuhud adalah terbelakang,
sulit bertahan hidup, sulit meraih kesuksesan, dekat dengan kefakiran, dan
sentimen-sentimen negatif lainnya. Bila benar, artinya satu ajaran Islam yang
mulia sudah tidak up to date lagi saat ini.
Atas dasar itu, kita perlu
meluruskan apakah zuhud identik dengan miskin dan kere saja. lekat dengan
keterbelakangan atau menjauhkan diri dari dunia secara totalitas. Ahli zuhud
katanya tidak makan enak. Pakaian yang dikenakan kumal. Terlepas dari persepsi
yang salah itu, perlu ditegaskan bahwa ahli zuhud adalah orang yang bertakwa.
Alloh tidak akan menyia-nyiakannya.”…barangsiapa yang bertakwa kepada Alloh, Ia
akan memberikannya jalan keluar.” (QS At-Talaq 2)
Zuhud Versi Ulama Rabbani
Pemahaman yang benar tentang
hakikat zuhud sangat urgen hukumnya. Oleh karena itu, Imam Ibnu Jarir
At-Thobari menyatakan bahwa mengutamakan pakaian dari wol daripada katun
padahal ia mampu membelinya atau menjadi vegetarian dengan menolak konsumsi
daging atas dasar menghindari syahwat adalah pendapat yang keliru. Beliau
menyatakan demikian agar zuhud dipahami secara proporsional.
Alloh menyatakan: “Katakanlah:
‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Alloh yang telah dikeluarkan-Nya
untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?’
Katakanlah: ‘Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam
kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat.’ Demikianlah Kami
menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.” (QS. Al-A’raf: 32)
Dalam sebuah hadits riwayat
shahabat Abul Abbas Sahl bin sa’ad As-Sa’idi ra, “Nabi didatangi seseorang lalu
bertanya, ‘Wahai Rasulalloh, tunjukkan kepadaku suatu amal yang apabila aku
mengamalkannya niscaya aku akan dicintai Alloh dan dicintai manusia.’
Rasululloh saw menjawab, ‘Zuhudlah pada dunia maka Allaoh akan mencintaimu, dan
zuhudlah pada apa yang ada di tangan manusia, maka diapun aakan mencintaimu’”
(HR. Ibnu Majah)
Hadits di atas dikomentari oleh
para ulama. Yunus bin Maisarah berkata, ”Zuhud di dunia bukan dengan
mengharamkan yang halal dan menyia-nyiakan harta, melainkan zuhud di dunia
ialah hendaklah apa yang ada di tangan Alloh lebih meyakinkanmu daripada apa
yang di tanganmu. Hendaklah keadaanmu saat kena musibah atau tidak tetap sama.
Hendaknya keadaanmu saat dipuji dan dicela sama.” Adapun Al-Hasan Al-Basri
menambahkan, ”Sungguh di antara kelemahan keyakinanmu adalah engkau lebih
mempercayai apa yang kamu miliki daripada apa yang dimiliki Allah.”
Syaikh Abdu Hamid Al-Bilali
berkata, “Zuhud sejati bukan dengan tidak makan, mengisolasi diri dari manusia,
dan mengenakan pakaian tambalan. Zuhud yang benar ialah memahami hakikat dunia,
lalu meletakkannya di tangan, bukan di hati, agar kita tidak sedih ketika gagal
mendapatkan sesuatu di dunia ini.”
Imam Ibnu Al-Jauzi mengingatkan
kaum Muslimin hakikat zuhud Nabi saw dan pergeseran makna zuhud yang terjadi,
“Nabi saw makan apa yang beliau miliki. Jika punya daging, beliau memakannya.
Beliau juga makan daging ayam. Favorit beliau adalah gula-gula dan madu. Tidak
ada bukti beliau menolak makanan mubah.”
Zuhud Politik, Mungkinkah?
Salah satu karakteristik ajaran
Islam adalah insaniyah, maknanya ajaran Islam diperuntukkan untuk kebaikan
manusia dan mereka diberikan kemampuan oleh Yang Kuasa untuk mengaktualisasikan
ajaran itu dalam kehidupan. Ajaran Islam bukan untuk para malaikat yang tidak
ada beban taklif pada mereka. Islam adalah ajaran langit untuk manusia di bumi.
Zuhud adalah konsep langit yang
diaktualisasikan di bumi. Seorang Muslim siapapun dia, apapun profesinya
dituntut menjadikan zuhud sebagai pakaian ruhaninya. Termasuk para politisi
yang di tangan mereka bergantung ribuan bahkan jutaan nasib rakyat. Kinerja dan
kiprah mereka jadi acuan kebijakan publik. Bila tidak memiliki sifat zuhud,
betapa sengsaranya nasib rakyat. Islam kaya akan kandungan konsep tentang etika
dan moralitas kemanusiaan, termasuk etika dan moralitas politik. Karena itu,
wacana politik tidak bisa dilepaskan dari dimensi etika dan moralitas.
Melepaskan politik dari gatra moral-etis, berarti mereduksi Islam yang
komprehensif dan mencerabut akar doktrin Islam yang sangat fundamental, yakni
akhlak politik. Zuhud politik adalah akhlak atau moralitas itu sendiri.
Politisi Muslim yang berakhlak
harus memiliki kualifikasi politisi Muslim yang ideal. Al-Imam Al-Mawardi, ahli
politik Islam klasik ternama merumuskan syarat-syarat seorang politisi dalam
Al-Ahkam As-Sultaniyah-nya sebagai berikut: Pertama, bersifat dan berlaku adil;
Kedua, mempunyai kapasitas intelektual dan berwawasan luas; Ketiga,
profesional; Keempat, mempunyai visi yang jelas; Keenam, berani berjuang untuk
membela kepentingan rakyat. Senada dengan formulasi Al-Mawardi tersebut, Syaikh
Ibnu Taimiyah dalam karyanya As-Siyasah Asy-syar'iyah menyebutkan, bahwa
pemimpin politik harus mempunyai kualitas moral dan intelektual, adil, amanah
(jujur) dan kapabel.
Bila seorang politisi Muslim
telah menggenapi syarat-syarat di atas, maka ia telah mengaktualisasikan konsep
zuhud politik. Sebab, bagaimana mungkin bisa disebut politisi zuhud bila dia
bodoh, tidak punya visi ke depan, tidak amanah dan tidak profesional. Politisi
seperti inilah layak disebut politisi busuk, politisi karbitan, abal-abal,
jadi-jadian, dan segudang istilah negatif lainnya. Politisi zuhud hanya
berbicara kinerja dan meraih prestasi juga tidak sibuk mencari aib orang lain,
apalagi menari di atas penderitaan orang banyak.
Meluruskan Pemahaman Hakikat Zuhud
Para sahabat Rasul saw bekerja
sebagaimana orang pada umumnya. Sebagian mereka adalah pengusaha sukses nan
ulung. Sebagian lainnya berwiraswasta mengoptimalkan bakat yang ada. Mereka
makan dari hasil yang halal. Mereka tinggalkan perkara subhat apalagi haram.
Menjadi pengemis, bagi mereka bisa menghilangkan kemuliaan di mata Alloh dan
makhluk-Nya.
Ahli zuhud layak berkompetisi
merebut kekayaan dunia. Bahkan eksistensi mereka bisa menyelamatkan dunia dari
kezaliman. Sebab, ahli zuhud memegang prinsip adil dan jujur, prinsip banyak
yang ditinggalkan oleh kaum opurtunis dan pragmatis. Dengan dua prinsip itulah,
ahli zuhud punya saham yang besar menciptakan keadilan bagi sesama.
Para Zahidin bisa saja memimpin
perusahaan besar. Bisa juga bekerja sebagai buruk atau bisa sedang mengajar.
Sifat zuhud layak dimiliki siapa saja dan di mana saja. Kaum zahidin bisa saja
poltisi, pedagang, pengajar, dan tentara. Mereka bisa berada di kantor
pemerintahan, universitas, pesawat, pasar, pabrik, sawah, kebun, dan jalan
raya. Bukankah zuhud itu ada di hati? Selama meyakini karunia Alloh maha luas
sedang aset kita serba terbatas, siapapun layak berpredikat zahid.
Pemaparan hakikat zuhud di atas
bisa membantah opini keliru bahwa ahli zuhud tidak bisa menggenggam dunia
layaknya kaum materialis dan sekuleris. Keterbelakangan tidak ada kaitannya
dengan zuhud, bahkan tidak terkait dengan Islam itu sendiri. Islam datang
memerangi keterbelakangan dan kebodohan, serta mengajak kepada kemajuan dan
penguasaan ilmu pengetahuan.
Oleh: H. Habib Ziadi
Sumber: http://www.muslimdaily.net/berita/lepas/dicari-politisi-zuhud.html#.UYMNmZyOW2o
0 komentar:
Posting Komentar