Kalau kita kembali ke masa lalu,
istilah Tuan Guru bisa ditelusuri pada abad 18 ketika tiga orang alim yang
pertama kali memakai istilah Tuan Guru. Yakni Tuan Guru Umar Kelayu, Tuan Abdul
Hamid Presak Pagutan, dan Tuang Guru Sekar Bela. Konon ketiga Tuan Guru ini
sangat hangat persahabatannya satu dengan yang lain, terutama pada tingkat
toleransi tinggi dalam perbedaan pendapat. Ketiga beliau ini memang cukup lama
mukim di tanah Hijaz untuk menunaikan ibadah Haji sekaligus menuntut Ilmu.
Kalau kita mengamini pendapat
Azyumardi Azra, tanah Suci Mekkah (dan Madinah) pada masa itu memang menjadi
pusat keilmuwan karena menjadi tempat berkumpulnya para alim-ulama dari
berbagai penjuru dunia. Keberagaman itu dikelola dengan sangat apik oleh
penguasa Mekkah dan Madinah sehingga dinamika keilmuwan berkembang demikian
maju pada saat itu. Para ulama yang datang dari Nusantara pada saat itu disebut
sebagai ashab al-jawiyin atau orang-orang Jawah. Sebutan Jawah merupakan
pemberian seorang peneliti Barat bernama Ludivico Vanathema pada tahun 1502
untuk ulama-ulama mumpuni dari seantero Nusantara.
Ikatan-ikatan keguruan ini tentu
saja melahirkan imajinasi kebangsaan yang lebih tua dan lebih solid daripada
yang dibayangkan oleh tokoh pergerakan nasional satu abad setelahnya. Ashab
al-Jawiyin sangat menjunjung tinggi tali sosial di antara mereka. Oleh karena
ikatan keilmuwan yang demikian kuat, konon Hadratus Syeikh Hasyim Asy’ari
menolak (mengharamkan) bentuk organisasi apapun karena beliau takut akan
memecah belah ikatan kebangsaan. Dan ulama-ulama ”jawah” pada saat itu bukanlah
penerima pasif ilmu-ilmu Islam Arab seperti banyak didugakan orang, justru para
ulama-ulama Jawah menjadi produsen pengetahuan yang sangat dihormati, dan
beliau-beliau membawa tipologi keislaman yang kuat sekali bentuknya.
Sebelum tiga Tuan Guru pertama
tersebut, konon ada banyak sebutan untuk orang-orang alim di gumi Sasak.
Seperti istilah Lebe (modin, mbah kaum dalam konteks Jawa). Dan besar sekali
kemungkinan bahwa banyak sekali alim ulama yang menetap di Lombok sebelum masa
Tiga Tuan Guru Pertama Sasak tersebut. Ulama ”ampuh” bernama Syeikh Abdul Muhyi
Pemijahan (Jawa Barat) misalnya, lahir di Lombok pada paruh awal abad 17.
Ayahnya bernama Lebe Wireatmakusuma, seorang bangsawan keturunan Pajajaran
(memang perlu diteliti lebih jauh pengaruh Pajajaran dalam konteks Sasak).
Setelah berumur 19 tahun beliau meninggalkan gumi Sasak menuju Ampel (surabaya)
untuk memperdalam pengetahuan keagaamaan beliau. Syeikh Abdul Muhyi dikenal
sebagai Wali kesepuluh Tanah Jawa karena tingkat kealiman, terutama pencapaian
keruhanian beliau. Diperkirakan beliau adalah kakak seperguruan dari ulama
Legendaris dari Makassar, yakni Syeikh Yusuf Khalwati al-Makassari, dan
sama-sama pengembang ajaran Martabat Tujuh dari Tarekat Syatariah. Seperti
diketahui bahwa martabat tujuh bukan saja doktrin tasawuf saat itu tetapi sudah
dijadikan dasar-dasar untuk melahirkan sistem politik yang sangat demokratis
(bandingkan misalnya dengan penelitian Tony Rudiansyah mengenai Buton).
Soal sebutan atau istilah Tuan
Guru, apakah ini pengaruh dari Banjarmasin, Sumatera atau dari Makassar? Di
tanah Banjar istilah Tuan Guru memang dikenal luas. Kemungkinan pengaruhnya
sampai ke Lombok, terbukti dengan diajarkannnya sejumlah karya ulama Banjar, seperti
Bidayatul Muthadin karya Syeikh Arsyad al-Banjari dalam bidang Fikih dan Darrun
Nafis karya Syeikh Nafis al-Banjari dalam bidang Tasawuf (Kitab ini juga
menguraikan martabat tujuh).
Sebab di tanah Makassar dan
Bugis, istilah Tuang Guru memiliki konotasi negatif, yakni dikaitkan dengan
ulama-ulama yang modernis, tidak tradisionalis. Para pembaharu yang terlalu
banyak kutipan ayat-ayat Suci Al-Qur’an dan Hadist daripada uraian-uraiannya
sendiri terhadap kedua sumber keilmuwan Islam tersebut.
Kalau dilihat ukuran waktunya,
maka Tiga Tuan Guru Pertama di Bumi Sasak tersebut sezaman dengan masa
Syaikhona Khalil Bangkalan, dan menurut sebagian orang Sasak bahwa Syaikhona
Kholil memiliki hubungan dekat dengan Tiga Tuan Guru Pertama di Bumi Sasak,
terutama dengan Tuan Guru Umar Kelayu (tidak sedikit yang mengatakan bahwa
kedua beliau ini memiliki hubungan keluarga yang nantinya melahirkan seorang
Tuan Guru legendaris bernama Tuan Gura Akhmad Tretetet: seorang Tuan Guru yang
dikenal karena karomah-karomahnya).
Kebetulan ketiga Tuan Guru
Pertama di Gumi Sasak karena lamanya berada di Tanah Suci menikahi sejumlah
keturunan Kiai-Kiai Jawa dan Sunda yang ternama. Tuan Guru Umar Kelayu menikah
dengan putri Kiai Jawa dari Banyuwangi yang diduga kerabat dekat Syaikhona
Kholil Bangkalan. Tuan Guru Abdul Hamid menikahi seorang putri Kiai dari
Banten. Demikian juga denganTuan Guru Sekarbela.
0 komentar:
Posting Komentar