“Jangan hanya mengejar cita-cita,
tapi kejarlah cinta kalian juga” pesan guru MTs saya, saat saya dan teman-teman
silaturrahmi ke rumah beliau. Bu Guru yang hampir berkepala empat ini ternyata
belum menikah. Padahal beliau sudah mapan secara ekonomi dan sudah siap secara
lahir dan bathin, secara fisikpun beliau imut. Namun entahlah sampai sekarang
beliau belum juga menemukan pendamping hidupnya.
Pesan beliau menyiratkan makna
yang mendalam bagi kami yang masih berusia kepala dua. Ada satu pelajaran yang
dapat kami petik, yakni bagaimanapun planning kami tentang masa depan dan
cita-cita jangan sampai lupa untuk mengejar cinta, menggenapkan separuh agama.
Kadangkala karena terlalu sibuk
menuntut ilmu, mengejar cita-cita, mengejar target masa depan seperti planning
S1, S2 keluar negeri, jadi PNS atau kerja di lembaga ini dan seterusnya, kita
lupa memprioritaskan untuk menikah. Ketika usia sudah menginjak kepala tiga
baru sadar kalau usia sudah tak lagi muda, teman-teman sudah mengantarkan
anak-anak mereka sekolah, kita lantas ‘iri’ melihatnya.
Mungkin bukan cuman bu guru saya
yang mengalami hal seperti ini. Ada beberapa kasus lain yang serupa, bahkan
saya juga menemukan seorang akhwat yang usianya sudah 40 tahunan yang saya kira
ummahat ternyata belum menikah juga. Dan masih banyak lagi kasus serupa.
Kalau kita hidup di tengah kota
seperti Jogja, hal ini menjadi hal yang tak terlalu bermasalah. Karena tak ada
yang menuntut, tak ada yang mengkritik kecuali beberapa orang di lingkungan
kita yang memang sudah betul-betul mengenal kita yang berani bertanya pada
kita, menggoda kita dengan pertanyaan-pertanyaan seputar itu bahkan mereka akan
membantu mencarikan.
Tapi, coba kalau kita hidup di
desa. Ini akan menjadi permasalahan yang serius. Selain menjadi beban kedua
orang tua, hal ini terkesan menjadi ‘aib’ keluarga karena salah satu anggota
keluarganya ada yang belum menikah padahal usia sudah kepala tiga bahkan kepala
empat.
Dalam sebuah obrolan ringan
dengan ayah saya, beliau mengatakan pada saya “Mau kamu sudah lulus kuliah, mau
kamu sudah kerja, tapi kalau kamu belum menikah beban ayah belum selesai.
Karena menikahkan kamu adalah tugas ayah”. Glekkk!!! Iya juga sih kalau
dipikir.
Kata-kata serupa juga sempat
diucapkan oleh seorang ibu yang saya temui saat saya mencari oleh-oleh di depan
kantor pusat Semen Gresik tempo hari. Beliau punya dua orang anak perempuan.
Anak yang kedua seusia dengan saya sedangkan anak pertama alumni IAIN Surabaya.
Anak beliau yang pertama usianya sudah 30 tahunan, namun belum juga menemukan
jodohnya.
“Saya itu kepikiran sama anak
saya. Padahal usianya sudah 30 tahunan tapi belum juga menemukan jodohnya.
Makanya adek kalau sudah lulus dan ada calon segera saja. Jangan terlalu banyak
pilih seperti anak saya” kata ibu itu. Saya cuman senyum-senyum saja, sambil
bilang “inggih, Bu”.
Saudaraku, bicara soal menikah.
Apakah kalau kita mau menikah harus sukses dulu? Punya rumah dulu? Kalau
menurut saya tidak! Kenapa? Karena iya kalau Allah memberi kesuksesan pada kita
dalam usia muda, sehingga kita mapan, mampu beli rumah dan lain-lain. Tapi
kalau ternyata Allah memberi kesuksesan pada kita di usia 30 tahunan atau
bahkan 40 tahunan? Apa kita harus menunggu usia segitu? Apa kita tega
membiarkan orang tua kita terus memikirkan kita? Apa kita tidak ‘iri’ melihat
teman-teman yang sudah berkeluarga?
Beberapa hari yang lalu saya
mencoba iseng menggoda sahabat saya
“Kapan nyusul Chopid?” sambil
menyenggol teman saya yang sedang asyik menikmati hidangan walimahan sahabat
saya juga.
“Ga tahu Nung” jawabnya,
tangannya masih memegang makanan
“Lho kenapa. Kan sampean sudah
ada?”
“Aku pengen sukses dulu. Pengen
punya usaha dulu, pengen punya rumah dulu”
Hah? Saya melongo. “Apa ga
kelamaan mbak? Iya kalau kita sukses dalam waktu dekat ini? Kalau ternyata
Allah memberi kesuksesan di usia 40 tahunan, apa kudu nunggu usia segitu?” saya
mencoba berargumen. Teman saya itu diam.
“Yaah kalau kita mau nikah kan butuh
moda Nung. Tuh lihat Chopid. Berapa banyak biaya pernikahan yang dikeluarkan.
Banyak Nung” katanya.
“Iya juga mbak. Tapi yang penting
adalah modal nekad. Terserah acara walimah kayak gimana. Yang penting kan
akadnya. Ga mesti harus seperti ini” kami lalu saling diam.
Mungkin kalau teman saya lihat
fenomena di atas, dia akan berpikir ulang untuk menunda pernikahan. Karena
menikah harus nunggu sukses, ga harus punya banyak modal. Yang penting modal
nekat (bonek, bondo nekat hehe). Karena inti dari walimah adalah ijab qobul.
Untuk acara walimah, ya semampu kita.
Saudaraku, tentunya kita semua
punya planning baik itu jangka pendek maupun jangka panjang. Tapi dari semua
planning itu jangan lupa untuk mempriotaskan menikah. Jangan sampai kita
menyesal di kemudian hari lantaran kita belum menikah kemudian kita melihat
teman-teman kita yang sudah menikah dan menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah
wa rahmah. Kalau menurut ilmu kedokteran, usia produktif wanita untuk
melahirkan itu antara 20-35 tahun, sedang selebihnya akan lebih riskan bagi
rahimnya.
Dan dengan menikah maka kita akan
membebaskan ayah atau orang tua kita dari kewajibannya terhadap kita. Karena
tugas ayah terhadap anak perempuannya adalah menjaga dan menikahkannya, setelah
itu tanggung jawab beralih kepada suami kita. Selain itu dengan menikah maka
semua amal kita akan bernilai ibadah, walau hanya sekedar senyum terhadap
suami.
Dan tentunya kita tidak mau kan
membujang sampai tua? Rasulullah melarang hal ini, dalam haditsnya yang artinya
: Dan Sa’ad bin Abu Waqqash ra berkata, “Rasulullah SAW pernah melarang ‘Utsman
bin Madh’un membujang dan kalau sekiranya Rasulullah mengijinkannya tentu kami
berkebiri”. (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)
Saudaraku, walau jodoh sudah
ditetapkan oleh-Nya maka jangan menjadikan ini sebagai alibi untuk berpangku
tangan menunggu ikhwan datang untuk melamar kita. Tapi jodoh itu ibarat rizki,
maka mari kita jemput ia dengan cara yang baik, kita ikhtiarkan ia dengan
cara-cara yang baik, seperti minta tolong kepada orang tua, murabbiyah, teman
dekat, yang disertai dengan taqorrub ilallah, memperbanyak ibadah, sedekah
(terutama pada kaum dhuafa’) minta didoakan sama mereka karena doa kaum dhuafa’
biasanya maqbul. Selebihnya kita serahkan semuanya kepada-Nya.
Waallahu a’lam bish-shawab.
[Ukhtu Emil]
Sumber: bersamadakwah.com
0 komentar:
Posting Komentar