Golput sebagaimana diketahui
adalah kependekan dari golongan putih. Dalam politik arti golput sangat berbeda
dengan istilah dalam dunia persilatan, yang menempatkan golput sebagai tokoh
utamanya. Sementara dalam politik, golput bisa berarti sebaliknya, yaitu
dianggap negatif dan antagonis. Terlepas dari itu semua, istilah golput biasa
dimaksudkan untuk menyebut mereka yang tidak memilih pada sebuah pemilihan
umum. Fenomena ini memang tidak bisa dianggap remeh, kenyataan di pilkada dan
survei-survei terkini menyebutkan jumlah golput menembus angka psikologis
melebihi 40 % dari jumlah pemilih. Benar-benar sebuah fenomena yang patut
dikaji secara lebih mendalam.
Istilah golput sendiri yang
semestinya luas, berangsur-angsur menyempit secara makna dengan mengartikan
bahwa golput adalah hanya mereka yang kecewa dengan parpol yang ada. Ibaratnya
dalam sidang parlemen ada istilah walk-out, yaitu keluar dari persidangan,
menolak ikut terlibat dalam pengambilan keputusan, maka dalam pemilihan umum,
golput-lah bentuk walk-outnya. Tetapi menurut penulis, sejatinya permasalahan
golput tidak bisa diartikan hanya seputar kecewa atau tidak. Memang harus
diakui, yang paling banyak melakukan sounding untuk golput memang mereka yang
jelas-jelas kecewa dengan perpolitikan di tanah air kita. Tapi jika kita
melihat lebih jauh, golput dalam arti tidak menggunakan hak pilihnya dalam
pemilu, ternyata bisa disebabkan oleh beragam latar belakang dan motivasi.
Karenanya secara sederhana saya ingin mengatakan, bahwa sejatinya golput tidak
benar-benar putih yang satu. Mereka terdiri dari warna-warni yang beragam, yang
ketika berputar terus membuat warnanya yang satu ; yaitu putih.
Ada berapa latar belakang
sekaligus motivasi mengapa seseorang memilih untuk menjadi golput, berikut
beberapa diantaranya yang bisa saya tangkap :
1. Golput Ideologis; yaitu mereka yang memandang bahwa memilih
dalam pemilu adalah bagian dari demokrasi yang bukan merupakan sistem
islam.Karenanya memilih dalam pemilu berarti sebuah kemaksiatan, memperjuangkan
sebuah parpol dan berdemokrasi bisa mendekat pada kemusyrikan.
2. Golput Skeptis dan Apatis; yaitu mereka yang peduli bangsa dan
tanah air, melek politik, tetapi merasakan kekecewaan yang besar dengan
perpolitikan tanah air, elit politik dan parpolnya. Merasa tidak akan ada
perubahan dengan parpol dan caleg yang ada saat ini.
3. Golput Teknis Praktis; yaitu mereka yang ingin memilih, dan
terdaftar dalam DPT, tetapi secara teknis pencontrengan tidak bisa karena
berhalangan dan kesibukan. Bisa karena sakit, rapat, bisnis. atau
momentum-momentum lainnya yang beragam.
4. Golput Egois dan Individualis; yaitu mereka yang tidak memilih
karena merasa tidak ada manfaat secara langsung baginya. Pemilu seolah
merepotkan dan mengganggu kesenangan dalam menjalani hidupnya. Mereka tidak
peduli dengan proses pemilu karena cukup enjoy dan senang dengan aktifitas
pribadinya masing –masing seperti ; belajar, olahraga, bermain, nge-game,
internetan, belanja, dan hobbi lainnya yang beragam.
5. Golput By Design atau By Force: Yaitu mereka yang berkeinginan
memilih, tetapi tidak bisa mengikuti pemilihan karena tidak terdaftar dalam
DPT.
Nah, jadi sepertinya tidak ahsan
menjustifikasi bahwa semua golput adalah mereka yang kecewa dengan perpolitikan
di tanah air. Sayangnya belum pernah ada –sepanjang yang saya tahu- survei
jumlah golput yang juga menjelaskan lebih lanjut alasan golput mereka. Kepada
mereka yang golput dengan beragam warnanya, ada beberapa hal yang bisa kita
berbagi dalam semangat menuju kebaikan bersama. Saya kira impian untuk
menjadikan Indonesia lebih baik dan mertabat, adalah satu hal yang juga
disepakati, bahkan oleh mereka yang golput sekalipun.
Pertama : kepada mereka yang golput secara ideologis, bahwasanya
perdebatan dan perbedaan seputar islam, pemilu dan demokrasi adalah 'realitas
perbedaan' yang tidak bisa dipungkiri dalam khazanah fikih kontemporer ( fiqh
nazilah ) saat ini. Dimana setiap pendapat mempunyai dalilnya, dan juga
tokoh-tokohnya ( baca ; ulama mujtahidnya). Yang berbeda juga bukan satu, dua
ulama, tetapi banyak ulama bahkan kumpulan ulama, masing-masing dengan
hujjahnya. Apalagi perdebatan itu masih berlangsung hingga saat ini. Karenanya
sebagai sebuah realitas, bahwa ada perbedaan ijtihad seputar masalah ini. maka
sesungguhnya sikap yang ksatria di sini adalah saling menghormati. Adapun
merasa paling benar, bahkan mengkafirkan pendapat yang perbeda, sebenarnya
bukan sikap ksatria dalam sebuah lapangan ijtihad. Semoga kita masih ingat
ungkapan 'ksatria' imam Syafi'i ra : " Pendapatku itu benar, tapi ada
kemungkinan salah, dan pendapat orang lain itu salah, tapi ada kemungkinan
benar ". Sehingga pada titik ini, saya berharap banyak kita bisa saling
menghargai. Dan terus bekerja sama untuk berdakwah dalam hal-hal dan tema-tema
yang kita sepakati, dan saya yakin itu sangat banyak. Semoga harapan ini bukan
impian.
Kedua : kepada mereka yang skeptis dan apatis. Mari kita saling
berintropeksi, apakah pilihan golput akan menjadi yang terbaik bagi negri ini,
atau bahkan sebaliknya ? Apakah kekecewaan ini karena diri kita yang tersingkir
dari perpolitikan, ataukah karena satu dua oknum yang mengecewakan ? Marilah
melihat lebih jauh, menimbang lebih teliti, jika ada satu nama, parpol, yang
masih menyisakan sedikit harapan mengapa ragu untuk ikut kembali berpartisipasi.
Mari lebih mendekat pada parpol yang ada, barangkali masih ada satu dua yang
bisa Anda percayai. Jangan menjauh karena itu justru membuat hati semakin anti
pati. Bukankah kita semua percaya sebuah ungkapan : tak kenal maka tak sayang !
Ketiga : kepada mereka yang golput karena alasan teknis dan praktis
! Ingat pemilu hanya lima tahun sekali. Semoga Anda bisa mengatur ulang jadwal
dan kesibukan hingga bisa ikut berpartisipasi.
Keempat : kepada mereka yang golput karena tidak peduli, mendahulukan
spirit individualis dan egois, maka marilah kita melakukan pendekatan dan
penyadaran yang lebih intensif. Ini adalah masalah mental yang tidak bisa
diubah semudah membalik telapak tangan. Ada hati-hati yang harus disentuh, ada
sapaan yang harus dilakukan, ada dakwah yang harus disampaikan. Untuk
menjadikan mereka lebih peduli dengan apa yang terjadi di sekelilingnya.
Mengingatkan kembali bagaimana kriteria manusia terbaik versi Rasulullah SAW ;
yaitu ketika kita mampu menjadi yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain.
Kelima : kepada mereka yang belum terdaftar dalam DPT, dan ingin
berpartisipasi dalam pemilihan umum, bersegaralah untuk mengajukan diri melalui
ketua RT setempat, untuk kemudian dilanjutkan ke Panitia Pemilihan Kelurahan,
masih ada harapan selagi KTP dan KK anda masih ada ditangan. Untuk aktifitas
lima tahun sekali, saya kira sedikit berlelah-lelah menembus birokrasi layak
untuk dijalani. Semoga semua dimudahkan, dan Anda mengikuti pemilu dengan penuh
optimis dan do'a.
Akhirnya, warna-warni golput
sungguh-sungguh menyisakan pekerjaan rumah yang begitu besar bagi kita semua.
Kepada semua yang peduli dan optimis untuk menjayakan negri ini, mari kita
dekati mereka yang golput, cari tahu alasan dan motivasinya, untuk kemudian
kita bisa berbagi wacana yang berbeda. Tidak perlu ada konflik, gontok-gontokan
ataupun sekedar bersilat lidah, karena ungkapan kebaikan sejatinya harus
dihadirkan dengan cara yang elegan dan dewasa. Pemenang sesungguhnya adalah
mereka yang mampu menahan diri ketika emosi bergemuruh di dalam dada. Wallahu
a'lam.
By: Hatta Syamsudin
Follow Twitter @hattasyamsuddin
*indonesiaoptimis.com
0 komentar:
Posting Komentar