"Bagi kami, Ustadz Anis
Matta, Ustadz Hilmi Aminuddin bukan cuma pimpinan partai, tapi juga guru kami
yang mengajarkan kehidupan kepada kami. Bagi kader, sangat sakit dan perih
melihat keduanya dipanggil (Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK)," kata Ketua
Divisi Humas PKS Mardani Ali Sera, Selasa (14/5/2013).
Turbulensi politik pasca terkuaknya
kasus dugaan suap daging impor yang melibatkan mantan Presiden PKS Luthfi Hasan
Ishaaq (LHI) dan orang dekatnya, Fathanah, memasuki babak baru. Pucuk pimpinan
tertinggi partai dakwah dipanggil oleh komisi anti-rasuah. Bisa dimengerti
kegetiran kader partai menyaksikan Muraqib ‘Am mereka diperiksa KPK sebagaimana
diwakili kesedihan Mardani Ali Sera.
Muraqib ‘Am atau pengawas umum
adalah istilah dalam gerakan tarbiyah untuk menunjuk kepada pimpinan tertinggi
Jamaah Tarbiyah, khususnya dalam kapasitasnya sebagai Ketua Dewan Pimpinan
Tingkat Pusat (DPTP), atau Majlis Riqabah ‘Ammah. Meskipun baru diperiksa
sebagai saksi, pemanggilan Hilmi Aminuddin tentu mengganggu "sakralitas”
Muraqib ‘Am, apalagi dipanggil sebagai saksi dalam kasus korupsi.
Putra beliau, Ridwan Hakim, juga
dipanggil dalam perkara yang sama. Sebagai partai kader, posisi Muraqib ‘Am
sangat istimewa karena menjadi soko guru bagi para pembina kader. Disengaja atau
tidak, ada semacam “sakralisasi” terhadap posisi Muraqib ‘Am. Apalagi selaku
Muraqib ‘Am, Hilmi Aminuddin jarang tampil di depan publik sehingga makin
menambah sakralitas dirinya.
Pada masa Orde Baru, jejaring
Jamaah Tarbiyah yang menjadi embrio PKS menerapkan strategi “sirriyah al–tanzim
wa alamiyyah al–dakwah” (struktur rahasia dengan pendekatan dakwah yang
terbuka). Posisi-posisi kunci di puncak kepemimpinan organisasi sengaja
dikaburkan, atau bahkan disembunyikan. Saat itu, modus operandi Jamaah Tarbiyah
mirip isolated social movement organisation atau organisasi gerakan sosial yang
terisolasi satu sama lain.
Mereka tidak memiliki cabang dan
bergantung pada kontak langsung antaranggota. Hal ini dapat dipahami karena
situasi yang tidak kondusif membuat hubungan antarorgan tarbiyah harus terputus
agar terhindar dari kontrol dan represi rezim Soeharto yang antipati terhadap
Islam politik. Setelah Orde Baru tumbang, Jamaah Tarbiyah melakukan
reorganisasi dengan mengawinkan gerakan sosial (social movement) dan partai.
Prinsip yang dipakai “gerakan
adalah partai dan partai adalah gerakan” (al-harakah hiya al-hizb wa alhizb
huwa al-harakah). Karena itu, PKS adalah partai yang tidak biasa (unusual
party) karena mengandalkan proses pengaderan sebagai tulang punggungnya.
Dilihat dari sisi tujuan politik, strategi rekrutmen kader yang dilakukan PKS
dapat dibagi ke dalam dua kategori.
Pertama, ditujukan untuk
memobilisasi sebanyak mungkin orang, apa pun suku, ras, dan jenis kelaminnya.
Ini terutama untuk kepentingan elektoral. Titik tekan pola rekrutmen ini adalah
dari segi jumlah. Kedua, pola rekrutmen yang bertujuan mendaftar kader-kader
potensial melalui mekanisme rekrutmen yang selektif. PKS lalu mewajibkan para
kadernya terlibat aktif dalam serangkaian pelatihan intensif.
Pelatihan ini dikemas secara
berjenjang atau hierarkis (marhalah). PKS juga mengenal muwashaffat atau
kriteria kader yang dibuat spesifik dan terperinci untuk tiap jenjang
keanggotaan di dalam partai. Ini semua untuk memastikan sistem stelsel aktif
berbasis group and grid berjalan efektif dan diharapkan mampu membentuk
komitmen total dan loyalitas anggota.
Mantan presiden PKS, Tifatul
Sembiring, menyatakan: “Kemenangan partai kader tidak akan muncul tanpa
loyalitas, loyalitas tidak akan muncul tanpa ketaatan, ketaatan tidak akan ada
tanpa pengorbanan, dan pengorbanan tidak akan ada tanpa keikhlasan,”
(Republika, 30 Juli 2005).
Politisi PKS Zulkieflimansyah
bahkan menyebut sistem kaderisasi di PKS memiliki banyak kemiripan dengan
partai komunis yang bersifat stelsel aktif, hierarkis, dan meniscayakan
loyalitas dan komitmen penuh terhadap garis kebijakan partai. Dia menyebut
proses dan sistem kaderisasi PKS sebagai ”partai komunis dengan cita rasa
ideologi Islam”.
Ironi PKS
Justru di sinilah ironi terbesar
melanda PKS. Selama ini ada dua proses sakralisasi yang membuat PKS tampak
berbeda dibandingkan partai lain. Pertama, saat partai-partai di Indonesia
dilanda virus gejala presidensialisasi partai, meminjam istilah DJ Samuels
(2002), yang bertumpu pada karisma figur, PKS konsisten bertumpu pada kader.
Meminjam istilah Goodwin, Jasper, dan Polletta (2001), kader PKS menerapkan
passionate politics, politik yang bergairah.
Kedua, sakralisasi PKS sebagai
partai yang bersih dari korupsi. Sebelum kasus LHI dan Fathanah mencuat,
dibandingkan partai-partai lain, PKS paling sepi dari isu tak sedap terkait
korupsi. PKS bahkan menumbuhkan citra bersih dan peduli sebagai bagian inheren
partai. Kasus suap daging ini melucuti sakralisasi pengaderan PKS yang
fenomenal itu. Presiden PKS adalah puncak kaderisasi partai.
Bisa dibayangkan kegalauan kader
PKS menyaksikan penetapan LHI sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap daging
sapi impor dan tindak pidana pencucian uang. Publik bisa berpraduga ada yang
salah dalam proses kaderisasi PKS karena (mantan) orang nomor satu partai
tersandung kasus korupsi ketika masih menjabat.
Tak bisa dimungkiri, badai
LHI-Fathanah yang menyeret elite-elite PKS lainnya dalam pusaran kasus suap
daging impor ini mengakibatkan desakralisasi citra partai. PKS tak lagi punya
kepercayaan diri mengusung jargon bersih dari korupsi karena sekali kasus
korupsi melanda partai langsung melibatkan (bekas) orang nomor satu di PKS.
Proses desakralisasi ini harus
membuat PKS menapak kembali ke bumi. Desain strategi PKS pada 2014 harus
dimulai dengan upaya sistematik untuk memulihkan citra partai pascamencuatnya
kasus LHI-Fathanah. Jika tidak, target tiga besar di pemilu nanti makin jauh
panggang daripada api.
BURHANUDDIN MUHTADI
Penulis Buku “Dilema PKS: Suara
dan Syariah” (2012)
*http://nasional.sindonews.com/read/2013/05/16/18/749535/desakralisasi-pks
0 komentar:
Posting Komentar