Rusmini Bintis
Medan
Tema yang satu ini sangat sensitif untuk dibahas. Hal ini terkait perasaan seorang wanita, sebagaimana tema poligami juga banyak menimbulkan pro kontra. Setiap wanita ingin dijunjung tinggi izzahnya, sehingga segala aturan Allah beresensi untuk menjaga iffah perempuan. Walaupun terkadang menjadi sebuah dilema dalam menentukan prioritas, pertimbangan akal, perasaan dan kebutuhan.
Menelisik penggalan hidup
penulis, pada akhir tahun 2011 perasaan
itu mulai datang. Ya, bisa jadi itu yang disebut dengan cinta. Bedanya cinta
akhwat dengan orang awam adalah cara mengeksprsikan cinta itu. Singkat cerita
saya mengungkapkan perasaan itu pada murobbi pada akhir tahun 2012. Pada
semester 4 saat sedang kuliah, saya juga pernah curhat tentang rasa pada
murobbi, tapi hanya curhatan semata.
Alasan saya curhat bukan karena tidak kuasa menahan rasa itu, tapi
sebagai bentuk penghormatan saya pada morobbi. Bagi saya, murobbi itu tidak
ubahnya seperti ummi. Bagi saya, apapun yang terjadi dalam hidup harus melapor
ke murobbi, sebagaimana juga saya mengatakannya pada emak.
Pada 2012 lalu adalah moment
kedua saya curhat ke murobbi tentang cinta, tentang seorang ikhwan. Kali ini
saya curhat karena sudah tidak tahan memendam rasa. Pada satu sisi saya juga
baru tamat kuliah, sehingga tidak hanya mengutarakan, saya juga minta agar
murobbi menta’arufkan saya dengan ikhwan itu.
Waktu itu murobbi hanya mengatakan Insya Allah dan berjanji akan
menyampaikan hal itu pada murobbi ikhwan.
Sejak hari itu, saya sempat
berpuasa hingga hampir 1 bulan. Setiap hari berpuasa. Bukan dengan niat agar si
ikhwan mengatakan “iya”, tapi agar apapun yang terjadi adalah yang terbaik buat
saya. Setelah 1 bulan berlalu, murobbi
tidak juga memberi laporan tentang jawaban ya atau tidak. Saya berinisiatif
untuk bertanya tentang itu. Alangkah tercengang ketika murobbi justru berkata
kecewa dengan sikap saya yang minta dita’arufkan, dan beliau tidak pernah mengklarifikasinya
ke murobbi ikhwan. Alasan beliau berkata “Insya Allah nanti kakak sampaikan ke
murobbi ikhwan” hanya untuk menghibur hati saya waktu itu. Dan alasan tidak
disampaikan karena hal itu tidak Islami.
Saya shok, tidak menyangka justru
berbuah cercaan. Alhamdulillah, liqo’
terus berlanjut. Tidak sekalipun saya
menghindar untuk tidak hadir halaqoh. Pada sisi yang lain saya juga bersyukur,
karena Allah gerakkan hati saya untuk bertanya ke murobbi, karena menjadi haram
hukumnya berpuasa sepanjang tahun. Saya butuh waktu hampir satu bulan untuk
menetralkan hati. Belajar menerima kenyataan.
Hingga kini
hubungan saya dengan murobbi baik. Kami saling mema’afkan. Dan saya yakin, sikap beliau tidak
menyampaikan kepada murobbi ikhwan bukan untuk membuat saya menderita, namun
agar izzah saya di mata suami kelak terjaga. Merupakan hal yang tabu di Medan
seorang akhwat mendatangi ikhwan.
Terlepas dari saya sudah
melupakan ikhwan tersebut atau tidak, namun yang jelas hati saya sudah netral.
Berasa sangat bersalah juga, sudah membuat morobbi repot memikirkan saya. Walau
bagaimanapun beliau pasti mengharapkan yang terbaik bagi mad’u-nya.
Terkadang saya berfikir, apakah
benar hal itu tidak Islami? Argumentasi saya tentang ibunda Khadijah binti
Khuwailid ra yang mendatangi Rasulullah ditolak murobbi, dan beliau
membandingkannya dengan Fatimah Az Zahra. Kisah asmara Fatimah yang suka pada
Ali namun tidak meminta kepada ayahnya untuk menikahkan/menta’arufkan dengan
Ali. “Iya, karena Rasulullah tahu tentang perasaan cinta Fatimah walaupun ia tidak
ungkapkan para Rasulullah”. Itu jawaban saya pada murobbi, sehingga saya pun
menyampaikan pada beliau. Tapi murobbi tidak juga dapat menerima argumentasi
saya.
Saya hanya mampu diam. Dalam
tulisan Anis Matta, saya pernah membaca “Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada
yang lebih baik bagi mereka yang sudah saling jatuh cinta kecuali pernikahan”.
Ini beda lagi ceritanya, ikhwan itu belum tentu seperti Ali yang juga mencintai
Fatimah. Masih dalam tulisan Anis Matta, “Sebab itu menjodohkan sepasang
kekasih yang saling mencintai adalah tradisi kenabian”. Dalam hal ini tidak ada alasan bagi saya
memaksa murobbi untuk menyampaikannya. Sudahlah... lupakan saja yang telah
berlalu, saya harus sadar diri.
Kearifan Jama’ah Dakwah
Ikhwan yang memilih, akhwat yang
menentukan. Begitu tradisi dalam jama’ah. Mungkin di luar Sumatera Utara,
diperbolehkan akhwat mendatangi ikhwan. Jadi bukan tidak Islami, tapi belum
menjadi kewajaran di daerah Medan. Saya masih berfikir bahwa mendatangi ikhwan
adalah bagian dari budaya Islam. Cerita cinta Khadijah ra saat minta dilamar
oleh Rasulullah tidak bicara langsung, akan tetapi lewat perantara seorang
temannya, yaitu Nafisah binti Munabbih. Apakah hal itu tidak dapat dijadikan
pijakan seorang akhwat mengatakannya pada murobbiyah?
Sah-sah saja kalau ada yang
mengikuti jejak ibunda Khadijah ra, dan tidak harus sekaya, secantik,
seterhormat Khadijah ra. Karena kualitas ikhwan juga tidak ada yang mengimbangi
Rasulullah. Yang salah, menurut saya, apabila akhwat menyampaikan langsung pada
ikhwan atau sebaliknya.
Tulisan ini bukan untuk
mempengaruhi pembaca agar pro dengan akhwat yang mendatangi ikhwan. Karena bagi
penulis hal itu juga masih dilema. Hanya sebagai wacana pertimbangan kebijakan
jama’ah ke depan. Karena keduanya mengandung sisi kemaslahatan masing- masing.
Kelebihan jika diperbolehkan
akhwat mendatangi ikhwan adalah menutup tabir setan untuk semakin jauh
memberikan angan-anagn kosong bagi akhwat yang lemah iman. Dengan proses
ta’arufan, si akhwat akan lebih mudah menata hati dengan jawaban ya atau tidak.
Kekurangannya secara psikologis apabila terjadi pernikahan maka suami harus
pandai-pandai menjaga perasaan istri. Karena dalam hal ini, suami berpeluang
merendahkan istri terutama jika terjadi konflik dalam rumah tangga.
Kekurangan jika tidak
diperbolehkan akhwat mendatangi ikhwan maka tidak ada sarana bagi akhwat yang
ingin segera mengklarifikasi rasa yang ada dalam hatinya, sehingga jika telah
memuncak dan tidak terkontrol, akan membuka peluang virus merah jambu (VMJ) yang
dilakukan ikhwan akhwat secara tersembunyi.
Kelebihan jika tidak
diperbolehkan adalah melatih para akhwat memiliki hati sejernih Fatimah binti
Muhammad saw. Mencintai dalam diam, tanpa berharap pada siapapun kecuali kepada
Allah sebagai hakim cintanya. Ia tidak mengatakan pada siapapun kecuali Allah.
Sungguh luar biasa menjadi sosok Fatimah yang sangat takut menodai anugerah
cinta yang Allah berikan, walaupun pada sisi yang lain ia tahu bagaimana
beratnya memendam rasa cinta.
Mengutip kalimat Ustadz Anis Matta,
beliau menjelaskan Islam adalah agama kemanusiaan. Sebab itu pula
nilai-nilainya selalu ramah dan apresiatif terhadap semua gejolak jiwa manusia.
Dan sebab cinta adalah perasaan kemanusiaan yang paling luhur, mengertilah kita
mengapa ia mendapat ruang sangat luas dalam tata nilai Islam.
Mau menjadi seperti Khadijah atau
Fatimah adalah pilihan akhwat. Islam menghargai kelebihan diantara kekurangan
yang dimiliki. Karena setiap manusia memiliki kekuatan berbeda, maka ambillah
sisi yang sesuai dengan batas kemampuan diri. Selalu ada hikmah di balik
kejadian, karena tidak ada yang kebetulan dalam hidup. Semua sudah Allah
tetapkan dalam lautful Mahfuz. Tugas kita adalah semaksimal mungkin melakukan
pengabdian diri untuk mengangkat Izzah Islam di muka bumi.
Allah yang maha membolak-balikkan
hati manusia, sekiranya kini diperkenankan akhwat mendatangi ikhwan, penulis
tidak akan melakukan yang kedua kalinya. Tapi bukan berarti tidak membenarkan
bagi yang melakukan karena hal itu tidak diharamkan oleh Allah, bahkan istri
manusia teragung sejagad raya yang telah mencontohkan. Ada kalanya manusia
butuh waktu untuk berfikir dan merenung dalam merubah persepsi menuju generasi
yang lebih qur’ani. Ilmu dapat diperoleh dari buku-buku, namun kebijaksanaan
dan kearifan lebih dekat dengan pengalaman hidup. Wallahu ‘alam...
*penulis: @MinieBintis on twitter
0 komentar:
Posting Komentar