Cahaya Icha
Balangan - Kalsel
Tak ada tendensi apapun saat
menulis ini. Hanya ingin memberikan opini dari sudut pandang berbeda. Tulisan
ini terinspirasi dari tulisan
seorang akhwat tentang poligami. Beliau menyoroti tentang kondisi para
akhwat yang belum menikah, sedangkan usia semakin bertambah dan jumlah ikhwan
yang tak seimbang.
Saya adalah seorang akhwat yang
lahir dari rahim tarbiyah, dari pintu dakwah kampus dimana kondisi saya selalu
idealis dalam memandang segala persoalan. Pun termasuk masalah pernikahan. Bagi
saya pernikahan adalah pembentukan generasi Rabbani, dimana rumah tangga dakwah
yang saya impikan tidak akan mungkin bisa terwujud jika pasangan saya bukanlah
ikhwan yang se-fikroh.
Kala pulang kekampung halaman
setelah lulus kuliah, alangkah kagetnya saya. Melihat jumlah kader yang bisa
dihitung dengan jari. Ikhwannya? Ada 3 orang.
Salah satunya adalah kakak saya, yang dua sisanya adalah bapak-bapak
yang beberapa tahun lebih tua dari kakak saya.
Resah? Tentu saja. Bagaimana
dengan cita-cita rumah tangga dakwah yang sudah saya impikan? Sedangkan tak ada
ikhwan ‘available’. Disamping itu kader-kader
akhwat yang lebih tua dari saya dan belum menikah juga ada. Hingga
kemudian murobbiyah kami memberikan ‘kebijakan’ untuk menikah dengan laki-laki
biasa, dengan sederet syarat. Saya?
Sangat kecewa waktu itu. Saya tetap memegang teguh idealisme saya menikah
dengan ikhwan tarbiyah. Harus se-visi dalam urusan dakwah. Tak bisa ditawar!
Dan ketika dua akhwat senior saya
menikah dengan ikhwan non kader, saya tetap mengutarakan kekhawatiran saya
kepada murobbi akan eksistensi mereka di jalan dakwah. Ternyata, kekhawatiran
saya sama sekali tak beralasan. Mereka tetap bersemangat dan aktif dalam
kerja-kerja dakwah. Muncul pertanyaan, jika ikhwan single memang tak ada, lalu kenapa takut menikah dengan ikhwan non
kader? Kenapa memaksakan sesuatu yang memang tidak bisa diadakan?
Memang, jodoh adalah rahasia
Allah SWT. Dia memberikan yang terbaik untuk hambaNya. Ketika jodoh itu datang
dan bukan dalam ‘bentuk’ ikhwan yang sefikroh, satu harakah. Maka saya coba
ikhlaskan hati bahwa inilah ladang dakwah yang Allah peruntukkan khusus bagiku.
Hasilnya? Sampai beberapa tahun
usia pernikahan kami, tak sekalipun ia menghalangi saya dalam berdakwah. Justru
suami saya yang notabene orang awamlah
yang selalu menyemangati saya saat lagi malas mengisi ta’lim,
mengingatkan saya jadwal rapat dan mengisi liqo, membantu saya menghapal qur’an
dan hadist. Bahkan, terkadang saya merasa dia jauh lebih banyak berkontribusi
dalam kerja-kerja dakwah dibanding saya sendiri. Walaupun alasannya ‘hanya’
membantu istri.
Mempunyai suami non kader
memberikan saya teman diskusi yang menilai jamaah ini dari sudut pandang luar,
hal itu tentu saja memperkaya pemahaman saya saat memandang suatu permasalahan
yang terkait dengan jamaah, karena penilaiannya objektif.
Jadi, tak ada alasan untuk takut
menikah dengan ikhwan non kader jika memang ikhwan kader tarbiyah yang masih
single tak ada. Yang harus dilakukan oleh para akhwat adalah mempersiapkan
diri, menyiapkan bekal sebanyak mungkin. Dan buat komitmen bersama tentang
rumah tangga impian. Ceritakan dengan jujur aktivitas-aktivitas dakwah yang
akan tetap dilakukan walaupun sudah menikah. Ketika dulu saya menikah, saya
berikan ‘warning’ pada calon suami bahwa dakwah adalah aktivitas utama saya.
Dan jika menikah, maka ia harus siap dengan dinamika dakwah yang akan terjadi
dalam rumah tangga kami.
Lalu, bagaimana dengan
kasus-kasus akhwat menikah dengan ikhwan non kader kemudian menghilang dalam
dunia dakwah? Terus terang saya tak mampu menjawab itu. Namun satu yang saya
pahami, jika cara kita menjemput pernikahan itu bersih dan lurus, niat kita
ikhlas karena Allah, tujuan menikah murni karena Allah. Insya Allah kita akan selalu dibimbing Allah
di jalan dakwah ini. Sehingga akan lahir "Ummu Sulaim-Ummu Sulaim"
kekinian yang mampu membimbing suaminya
bersama-sama membangun keluarga sakinah dalam bingkai dakwah. []
Wallahu’alam
*penulis: @cahayaicha on twitter
Sumber: PKS Piyungan
0 komentar:
Posting Komentar