Rusmini Bintis
Medan
Poligami menjadi sebuah dilema
bagi akhwat. Jenjang pengkaderan seolah menutup tabir bagi para akhwat untuk
tidak lengah terhadap prahara jodoh. Jenjang pengkaderan secara perlahan
menganjurkan akhwat agar semaksimal mungkin berusaha agar menikah dengan
ikhwan. Alasan yang rasional diungkapkan oleh para qiyadah adalah terkait
keberlangsungan tarbiyah di kemudian hari pasca menikah. Perempuan yang
dipimpin, bukan memimpin dalam rumah tangga, sehingga dengan menikah sesama
kader, diharapkan rumah tangga yang terbangun kental akan nuansa tarbiyah
hingga anak cucu.
Berbeda dengan kader ikhwan
(laki-laki) yang diberi keleluasaan untuk menikah dengan akhwat atau tidak.
Alasannya, kalau dengan akhwat maka jalinan tarbiyah akan semakin kokoh. Kalau
tidak, diharapkan menjadi ajang rekrutmen kader. Hal ini sangat dimungkinkan
karena laki-laki (suami) adalah pemimpin rumah tangga. Dengan kekuasaan, tidak
sulit baginya untuk merubah seseorang yang telah hanif untuk menjadi seorang
'akhwat'.
Pada sisi yang lain, globalilsasi
menyeret kaum adam lebih dalam terjerat pada kubangan kemaksiatan. Perekrutan
kader yang dilakukan lebih menarik simpati para perempuan untuk tergabung dalam
jama’ah. Terlepas dari kinerja para ikhwan yang lamban dalam pengkaderan atau
merupakan hukum alam, yang jelas jumlah akhwat jauh lebih banyak dari pada
ikhwan. Jika ada 100 orang yang terekrut, hanya 30% diantaranya laki-laki.
Fenomena ini terjadi hampir di setiap jenjang pengkaderan hingga tingkat
nasional, walhasil sosok ikhwan menjadi langka.
Realita ini mendorong para
qiyadah jama’ah untuk turut andil memikirkan solusi yang terjadi. Beberapa
tahun silam, sempat tersiar anjuran berpoligami bagi para ikhwan untuk
mensiasati regenerasi kader. Tidak lama setelah itu, muncullah buku yang
berjudul “Bahagia dengan satu Istri”, karangan Ustadz Cahyadi Takariawan. Dalam
buku tersebut dipaparkan betapa Islam sangat bijaksana memperbolehkan poligami
namun juga tidak mengkultuskannya menjadi sebuah budaya Islam. Oleh karena itu,
penting bagi kita untuk mengetahui sejarah berpoligami.
Tradisi berpoligami sudah ada
sejak berabad-abad silam bahkan sebelum Rasulullah dilahirkan. Di Persia dan
bangsa Arab, laki-laki bebas menikahi lebih dari satu istri dengan jumlah tanpa
batas. Kemudian Islam hadir untuk membebaskan perempuan dari kedzaliman.
Kehadiran Islam telah mengangkat harkat dan martabat kaum hawa, melindungi
kehormatannya.
Alkisah, ada seorang sahabat yang
memiliki istri lebih dari empat sebelum masuk Islam. Dalam sebuah riwayat, Imam
Syaukani menuturkan ‘Qais bin al-Harats berkata “Saat masuk Islam, saya
memiliki 8 orang isteri. Kemudian saya menemui Rasulullah saw, dan saya
ceritakan kepada beliau masalah ini. Selanjutnya beliau saw bersabda,”Pilihlah
empat orang diantara mereka". [HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah].
Islam hadir untuk membatasi
jumlah maksimum 4 istri bagi suami. Sehingga budaya berpoligami bukan budaya
Islam, melainkan budaya orang Arab saat masa jahiliyah dahulu. Namun pembatasan
yang Allah berikan kepada laki-laki bukan hanya boleh 1 istri, melainkan 4.
Walaupun pada akhirnya Allah menganjurkan menikahi 1 orang saja bagi yang takut
tidak dapat berlaku adil, namun Allah juga tidak melarang bagi yang menganggap
dirinya dapat berlaku adil.
Adil dalam hal ini adalah
pembagian waktu, materi maupun perhatian. Terkait dengan kecenderungan rasa,
hal itu tidak dapat direkayasa sebagaimana Rasulullah juga lebih cenderung pada
Aisyah dibandingkan para istri-istri yang lain ketika Rasulullah berpoligami.
Nuansa romantika rumah tangga Rasulullah beserta para ummul mukminin merupakan
cermin keluarga poligami ideal. Demikian juga kisah rumah tangga Rasulullah
dengan istri pertamanya Khadijah ra, menjadi rol model keluarga Islami satu
istri. Rasulullah adalah laki-laki perfect, dalam sejarah hidupnya ada contoh
kehidupan dengan satu istri maupun dengan banyak istri.
Mengutip ungkapan Ibu Sri Rahayu
Tifatul Sembiring, beliau berkata bahwa “prinsip dasarnya, poligami bukan untuk
membuat kebubrahan, tapi justru harus menjadi sebuah ekspansi cantik yang
menambah keindahan dakwah”. Alangkah indah, saat dalam dunia dakwah bukan
menjadi hal yang tabu jika ada yang berpoligami. Tidak dicerca apalagi dihina.
Justru pada saat itulah moment strategis kader dakwah untuk membuktikan kepada
dunia bahwa poligami dalam Islam adalah anugerah, bukan musibah.
Bagi penulis, tidak masalah jika
ada sosok ikhwan yang tidak mau berpoligami. Karena bisa jadi ia begitu
mencintai istrinya, atau takut tidak dapat berlaku adil. Namun menjadi sebuah
masalah apabila ada seorang istri tidak mau dipoligami, hemat penulis hal ini
ada sangkut pautnya dengan mahabbah kepada Allah. Sedikit agak sadis memang,
mari kita rasionalisasikan.
Ummul mukminin Khadijah ra adalah
sosok tauladan umat dari kalangan perempuan. Beliau dijamin Allah masuk surga,
dijamin dibangunkan istana dari bambu, dijamin akan menjadi pemimpin wanita
kelak di surga. Beliau adalah kekasih Rasulullah. Ibunda Khadijah binti
Khuwailid ra tidak dipoligami dan tidak ada sikap beliau yang melarang
Rasulullah untuk berpoligami. Walaupun juga tidak ada hadits yang menguatkan
bahwa Khadijah ra pernah meminta Rasulullah untuk mempoligaminya, namun
setidaknya digambarkan dalam sirah bahwa Khadijah adalah sosok wanita yang mau
melakukan apa saja demi mendapatkan keridraan Allah dan Rasulullah.
Begitu pula saat kita telisik
kisah almarhumah Ustazah Yoyo Yusro, beliau tidak dipoligami bukan karena tidak
mau dipoligami, justru beliau sangat ingin dipoligami dan meminta suaminya agar
mau poligami, dan pada akhirnya sejarah asmara hidup beliau harum tak ubahnya
kisah para sahabiyah. Karena suami Ustazah Yoyo tidak menikah lagi.
Pertanyaan besar bagi akhwat yang
anti poligami, “mengapa sosok Khadijah, Ustazah Yoyo Yusro, dan para sahabiyah
mau dipoligami? Terlepas pada akhirnya dipoligami atau tidak, namun mengapa
para wanita tangguh itu mau hidup berbagi. “Mahabbah/ Cinta pada Allah”. Itu
jawabannya. Begitulah cinta mengalahkan logika. Dapatkah kita berfikir, bahwa
bisa jadi pada masa dakwah Mekkah atau Madinah jumlah akhwat jauh lebih banyak
dari pada ikhwan sebagaimana yang terjadi hari ini? Sehingga dengan gampang
para sahabiyah mau dipoligami oleh para sahabat.
Umar bin Khathab memiliki jumlah
istri hingga 9 orang. Bukan dalam satu waktu, melainkan ketika istrinya wafat,
ia menikah lagi. Sepanjang hidup Umar bin Khathab, istrinya selalu berjumlah 4.
Hingga wajar jika pada akhirnya jumlah istrinya lebih dari 4 jika
diakumulasikan. Ketika ditanya oleh sahabat lain mengapa ia begitu suka
menikah, Umar bin Khathab hanya menjawab “Sesungguhnya aku ingin Rasulullah
bangga padaku dengan banyaknya ummatnya kelak di akhirat”. Subhanallah, sosok
Umar bin Khathab menikah bukan semata karena syahwat, melainkan karena
mengharapkan apresiasi/kebanggaan itu muncul dari Rasulullah kelak di akhirat.
Para sahabat rata-rata memiliki
banyak keturunan. Khalid bin Walid ra memiliki 40 anak. Disebutkan bahwa anak
cucu Anas bin Malik yang berkumpul saat khataman al Qur’an di rumahnya lebih
dari 100 orang. Begitulah sifat para sahabat/sabahiyah dalam berlomba dalam
kebaikan. Mereka seolah mengabaikan keegoisan, hidup berbagi mudah mereka
lakukan. Sungguh, itsar-nya para sahabat luar biasa. Mereka bertindak bukan
semaunya, tapi semampunya. Apa saja akan mereka lakukan untuk meraih simpati
Allah, membuat Allah bangga. Yang penting bagi mereka adalah bagaimana agar
Islam semakin kokoh dengan banyaknya jundi- jundi Allah, agar janda dapat
terberdayakan, agar tidak ada lagi perawan tua dari kalangan sahabiyah, agar
izzah Islam semakin mengakar dalam kehidupan.
Jodoh adalah bagian dari rahasia
Allah. Bisa saja kita ngeles dengan berujar “Jodoh itu Allah yang atur, bukan
kita. Semua sudah tercatat di lauful mahfud. Perawan tua karena jodohnya belum
datang”. Iya benar, tapi bukankah ikhtiar manusia juga menjadi penentu siapa
dan bagaimana proses itu berlanjut. Bukankah kemenangan dan prospek dakwah yang
kita alami saat ini karena sebuah kerja keras yang diawali dengan rasionalisasi
untuk membuat suatu strategi. Bukankah poligami merupakan rasionalisasi atas
strategi pemecahan masalah pernikahan bagi para akhwat.
Lalu bagaimana mungkin para
ummahat menolak poligami yang diperbolehkan Allah. Lagi pula, mau dipoligami
belum tentu pada akhirnya dipoligami. Bisa jadi suaminya tidak mau, atau tidak
ada akhwat yang mau dijadikan istri kedua, ketiga, maupun keempat. Disitulah
letak maksimalisasi ikhtiar para ummahat. Sampai disitulah kemudian kita
berujar “Semua sudah tercatat di lauful mahfud”.
Kalau tidak ada keikhlasan dari para
ummahat, tidakkah kita merasa juga memiliki andil dengan para akhwat yang berguguran
di jalan dakwah karena tidak jua menemukan jodoh? Tidakkah para ummahat
tersekat lidahnya saat ada akhwat yang futur keluar dari jamaah dan masuk di
jamaah lain karena peroleh suami yang tidak sefikrah?
Tidakkah kita telisik hati
seorang presiden PKS Anis Matta yang bisa jadi menganjurkan poligami sebagi
solusi, hingga kemudian beliau mengaplikasikannya langsung, bukan dengan
kata-kata. Sebagaimana dulu ketika Rasulullah melakukan potong rambut sendiri saat
berhaji dan kemudian diikuti para sahabat yang lain. Karena ada kalanya manusia
lebih faham dengan perbuatan bukan dengan perkataan.
Para akhwat yang anti poligami,
coba kita renungkan. Coba bayangkan suatu suasana ideal sistem berpoligami para
sahabiyah yang kini dapat terejawantahkan dalam zaman modern. Suami (ikhwan)
yang mau poligami boleh berpoligami, akhwat yang mau dipoligami punya jalan
untuk itu, anak-anak kader semakin banyak. Bukankah itu artinya memperkecil
peluang berguguran akhwat kalau alasan futurnya karena jodoh, bukankah dengan
banyaknya jundi-jundi Allah secara kualitas dan kuantitas penduduk Indonesia
semakin membaik?
Tidakkah kita mau menggantikan
penduduk muslim di Indonesia yang keluar dari islam karena harta, kita gantikan
dengan anak-anak kita. Bukankah kita meyakini bahwa secara kualitas Insya Alah
aqidah anak-anak kader jauh lebih baik dari pada orang awam di luar sana.
Bukankah itu artinya agenda ‘poligami’ merupakan agenda umat?
Bukan cuma 1 atau 2 orang akhwat
di Indonesia ini yang sudah berusia 30 tahun namun belum juga menikah, adakah
kita berfikir bagaimana nasib mereka selanjutnya. Apakah mereka harus menunggu
duda-duda ikhwan? Karena sungguh sulit bagi mereka mendapatkan ikhwan yang
masih lajang, karena kebanyakan dari mereka mencari akhwat dengan usia muda.
Sadarilah wahai ummahat, siapa lagi yang akan menolong kecuali kita?
Sekali lagi coba renungkan, para
akhwat tua jumlahnya banyak, mereka tidak boleh menikah kecuali dengan ikhwan,
jumlah ikhwan sedikit, ikhwan yang lajang mencari istri yang muda, waktu terus
bertambah, usia mereka semakin renta, dan kita hanya dapat memaksa suami agar
tidak poligami. Duhai… betapa malang saat tubuh mereka terhimpit dan berusaha
bertahan dalam jalan dakwah, kita yang kuasa untuk menolongnya namun tidak juga
mengulurkan tangan untuk bersama-sama satu atap meraih Jannah Nya.
Dalam hal ini, penulis juga
yakin. Tidak semua akhwat yang belum menikah mau dipoligami. Terkait hal itu
sah-sah saja kalau mereka menolak tidak mau dipoligami. Namun setidaknya para
ummahat telah memberi jalan... jalan bagi para akhwat yang kesulitan menikah
tersebab salahsatunya faktor usia. Masih terlalu banyak peluang kebaikan yang
dapat kita lakukan, selama masih ada kesempatan.
Wallahu ‘alam…
@MinieBintis on twitter
0 komentar:
Posting Komentar