Sebelum membincang jauh tentang
tema ketulusan, izinkan penulis memulainya dengan satu nama "Sir Edmund
Hillary".
Namanya melegenda seiring
kesuksesannya menaklukan keangkuhan mount everest, sebagai gunung tertinggi
diplanet bumi. Maka tercatalah namanya sebagai manusia pertama yg berhasil
menembus keganasan mount everest dengan selaksa
mitos keangkeran yang menyelubunginya, setelah hampir ratusan nyawa
melayang diranah peruntungan ini. Tak kurang seorang Ratu Elizabet II pun yang
sejenak saja naik tahta Britania Raya menganugrahinya gelar kebangsawanan,
"Sir" kepada Edmund Hillary.
Tapi ada keunikan lain dibalik
cerita sukses seorang Edmund Hillary. Kala para kolega yang mengucapkan selamat
dan jurnalis yang mengabadikan gambar mengerumuninya sesaat turun dari
pendakian, sesosok lelaki duduk tersandar. Dari wajahnya nampak jelas
guratan-guratan kelelahan yang sangat. Sesekali menghela nafas dalam-dalam
melepaskan rasa hati puas sambil tersenyum menyaksikan ekspresi selebrasi didepannya. Siapakah dia? Tenzing
Norgay. Ya, lelaki Sherpa, sebuah suku yang tinggal dikaki gunung everest
diwilayah hukum Tibet, itulah nama lain
dibalik kisah penaklukan Mount Everest itu. Mengapa? Karena dialah pemandu
dalam misi pendakian itu. Ia bercerita tatkala selangkah lagi mencapai puncak tertinggi
Everest, Ia mempersilahkan Edmund Hillery untuk berjalan didepan. Padahal jika
saja Ia mau, tentu namanya-lah yg tercatat dalam sejarah penaklukan Mount
Everest karena berjalan didepan sebagai
pemandu. Mengapa itu tak Ia lakukan? "Kebahagiaan bagi saya adalah
menghantarkan orang kepuncak Everest dengan selamat. Tidak yang lain".
Meski dengan sikapnya itu, tak ada yang "engeh" padanya, apatah lagi
kelebat blit kamera mengabadikan gambarnya.
Cerita kontras justru
dipertontonkan orang-orang dinegeri ini.
Para Dermawan tanpa rasa risih memanggungkan amal-amal kebaikannya sembari
tertawa lebar melihat jejalan Dhu'afa bergulat dengan rasa malu dan harga diri
yang compang-camping, mengais rasa iba demi selembar uang zakat atau sekerat
daging qurban. Ditempat lain, para pejabat negeri ini berkoar tentang keadilan
hukum, tentang kesejahteraan bagi rakyat, tentang anti korupsi, tentang
"kesederhanaan" hidup, tentang keberpihakkan terhadap orang-orang
kecil. Tapi sayang itu hanya berhenti didepan kamera, hanya selubung tipis
keshalihan dibalik coreng-moreng wajah
buruk berkelindan kemunafikkan, sepi dari rasa ketulusan.
Andai saja Imam Al-Mawardi (364-450 H) sudi berbagi cerita pada kita
tentang pertarungannya dengan ego diri dan rasa sum'ah (menunjukkan kelebihan
diri agar mendapatkan pujian). Ia wafat dipelukan seorang sahabat. Sedetik
sebelum ajal menjelang ia berpesan, jika tangannya menggenggam erat tangan
sahabatnya itu, pertanda ia sudah mengikhlaskan kitab-kitab karangannya untuk
disebar-luaskan. Tetapi jika sebaliknya, maka ia meminta sahabatnya itu
membuang buku-buku karangannya ke sungai Dajlah. Dan akhir ceritanya adalah
...... beliau meninggal dalam kondisi tangannya menggenggam erat tangan
sahabatnya. Pertanda rasa tulus dan ikhlas telah memenangkan pertarungan, dipelataran hati Sang Imam. Hingga akhirnya
sampailah pada kita buah fikirannya yang berharga semisal Al Ahkam
As-Sulthaniyah, Adabud Dunya wa Ad-Din, dll. Rasanya kita menemukan kebenaran
ungkapan dari Al-'Abid Al-Haramain Fudhail bin Iyadh; "Tak ada amal yang
paling sulit aku lakukan didunia ini selain ketulusan".
Disini kita perlu berhenti dan
merenung sejenak tentang energi ketulusan. Untuk sekedar menenangkan hati dari
kegaduhan politik yang memekakan telinga, dari tikungan-tikungan tajam arah
pergerakan yang terkadang membuat limbung idealisme dan ketulusan kita dalam
kerja-kerja dakwah dan amal-amal siyasah. Sembari terus berkarya untuk negara,
berkhidmat pada umat, meski media luput meliput dan kamera alfa mewarta. Hingga
akhirnya amal itu sendiri yang bersaksi
dimahkamah ilahi. Nanti...!
Wallahu a'lam bii shawab.
Rusdy Haryadi
Sumber: pkspiyungan.org
0 komentar:
Posting Komentar