Jakarta - Pakar Hukum Tata
Negara, Irmanputra Sidin menegaskan jika kontrak koalisi yang dijadikan acuan
untuk mengelola bangsa dan negara ini maka DPR sebaiknya dibubarkan saja.
Menurut Irman, yang namanya kontrak koalisi tidak mengikat secara konstitusional
bagi DPR. Karena itu setiap anggota DPR dan DPR secara kelembagaan tidak wajib
patuh pada isi aturan kontrak koalisi itu.
“Kalau kontrak koalisi jadi
instrumen politik penguasa untuk menguasai parlemen, bubarkan saja DPR dan
pemilu legislatif dengan sendirinya tidak diperlukan karena wakil rakyat yang
pilihnya lebih tunduk kepada kontrak koalisi," ujar Irman kepada wartawan
di Jakarta, Jumat (28/5).
Sistem seperti itu, lanjut Irman,
mendorong carut-marutnya penyelenggaraan negara karena wakil rakyat, presiden
dan jajaran anggota kabinetnya yang berasal dari parpol lebih memikirkan
parpolnya ketimbang rakyat yang diwakilinya.
"Kontrak koalisi yang
menginvasi instrument internal DPR seperti fraksi itu bisa disebut bertentangan
dengan Pancasila, utamanya sila ke 4, 'Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat
Kebijaksanaan dalam Permusyaratan Perwakilan. Jelas lembaga perwakilan dalam
hal ini mediumnya ada di parlemen dan bukan di koalisi," terangnya.
Jelas sekali, mediumnya di
parlemen, bukan di koalisi. Proses produksi UU tidak boleh dilakukan di luar
parlemen. Jika ini yang terjadi maka DPR itu hanya akan menjadi minimarket saja
yang menawarkan hasil jadi, padahal DPR itu seharusnya menjadi tempat
diproduksinya UU. Oleh karena itu fraksi-fraksi di parlemen tidak wajib
mengikuti apalagi tunduk pada kontrak koalisi. "Fraksi bekerja untuk DPR
bukan untuk koalisi,” tegasnya..
Parpol anggota koalisi sendiri
tidak perlu takut dikeluarkan, kecuali memang ada “hubungan” antara keberadaan
parpol di kabinet dengan eksistensi parpol terutama dalam hal keuangan.
”Padahal secara konstitusional tidak ada hubungan besarnya parpol dengan
keberadaan kader mereka di kabinet. Kalau DPR punya keyakinan bahwa pemerintah
melanggar kepentingan rakyat, wajb bagi untuk meluruskan. Kalau DPR tidak
meluruskannya, berarti DPR melanggar Pancasila dan UUD,” tegasnya.
Irman juga mencontohkan ada
anggota parpol yang diduga terlibat kasus korupsi membuat urusan kenegaraan dan
pemerintahan menjadi goyang. DPR goyang, Presiden goyang, padahal DPR dan
Presiden sedang menjalankan fungsi kenegaraan dan kerakyatan. Urusan kader
parpol melakukan korupsi jelas menjadi urusan privat partai yang bersangkutan
dan seharusnya tidak membuat repot Presiden dan DPR dalam melakukan urusan
kenegaraannya.
Soal korupsi yang dilakukan kader
parpol seharusnya cukup diselesaikan di ranah penegakkan hukum saja, tidak
perlu membuat presiden dan DPR goyang. “Ke depan kalau orang sudah jadi
Presiden, Menteri atau anggota DPR dia harus tanggalkan semua pernak-pernik parpol
yang disandangnya. Presiden dan menteri ketika dia menduduki jabatannya bukan
lagi milik sekelompok orang dan milik parpol tertentu. Tapi milik seluruh
rakyat Indonesia. Kalau angggota DPR dia juga bukan lagi milik parpolnya tapi
milik rakyat yang diwakilinya," tukasnya.
0 komentar:
Posting Komentar