"Pledoi Ekonomi Century"
Oleh :
Jusman Dalle
Kasus Bank Century yang telah
diselamatkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dengan dana akhir Rp 6,762 triliun
masih menyisakan kontroversi. Hingga saat ini, babakan Century belum usai.
Keputusan Bank Indonesia (BI) yang kala itu di bawah kepemimpinan Boediono yang
menetapkan Bank CENTURY sebagai bank gagal berdampak sistemik sehingga
diputuskan mendapat dibailout, sampai saat ini masih menyimpan tanya di nurani
publik.
Pasalnya, penetapan status bank
gagal berdampak sistemik dapat dikeluarkan apabila bank tersebut memenuhi
sejumlah kategori. Diantanya berukuran besar dan memiliki kaitan dengan bank
lainnya. Namun jika melihat positioning CENTURY dalam portofolio perbankan
nasional, secara akademis dan empiris sulit rasanya menerima bahwa CENTURY
memiliki pengaruh besar dalam kancah perekonomian, khususnya resistensi yang
ditimbulkan terhadap lanskap dunia perbankan.
Menurut data dari BI, CENTURY
hanya menempati porsi sekitar 0,4% dalam transaksi keuangan antar bank atau
Pasar Uang Antar Bank (PUAB). CENTURY juga tidak termasuk dalam salah satu dari
15 bank terbesar yang menguasai sekitar 80% aset perbankan nasional. Artinya,
jikapun CENTURY mengalami default kala itu, pengaruhnya tidak akan signifikan.
Sebab jumlah nasabahnya tak terlampau besar. Bahkan, diketahui, nasabah CENTURY
hanya nasabah khusus saja. Yaitu para konglomerat dari etnis tertentu.
Azis Setiawan dalam menjelaskan
argumentasi bahwa CENTURY tidak sistemik salah satunya mengutip pendapat Iman
Sugema yang menyatakan bahwa pada waktu itu (Oktober 2008), total aset CENTURY
adalah sekitar Rp 15 triliun, tak lebih dari 0,75 persen dari total aset
perbankan nasional. Jumlah nasabah yang 65 ribu orang hanya sekitar 0,1 persen
dari total nasabah perbankan. Begitupun total dana pihak ketiga yang terkumpul
sekitar Rp 10 triliun atau tak sampai satu persen dari total simpanan
masyarakat yang tertampung di semua bank.
Mantan Gubernur Senior Bank
Indonesia, Anwar Nasution berpendapat bahwa bilamana kala itu penyelamatan
CENTURY dilakukan dengan pertimbangan kegagalan operasionalnya berdampak
sistemik, hal itu merupakan kesalahan indikator. Bila mengukur dari pendekatan
PUAB dan pasar devisa yang digunakan untuk menilai posisi bank, kegagalan
Century tidak akan berdampak sistemik. Masalah Bank Century merupakan kasus
yang berkaitan dengan case management dan akibat krisis global.
Menarik fakta yang disampaikan
oleh Anwar Nasution bahwa jika melihat track record sejak Bank Century
beroperasi Februari 2005, semestinya bank itu tidak usah diselamatkan.
Tercatat, beberapa pelanggaran dilakukan. Diantaranya, pencurian uang senilai
12 juta USD oleh Dewi Tantular yang merupakan saudara pemilik Bank CENTURY,
Robert Tantular.
Dari data di atas, bisa
disimpulkan bahwa CENTURY merupakan bank yang relatif kecil. Dan, kalangan
akademisi di negara mana pun tak akan menilai bahwa bank tersebut dapat
menimbulkan risiko sistemis. Biasanya, hanya bank-bank yang masuk kategori 10
besar yang dianggap too big to fail.
Selain itu penjaminan simpanan
telah mencakup nilai maksimum sebesar Rp 2 miliar sehingga praktis mayoritas
nasabah sebenarnya sudah terlindungi oleh LPS. Memang CENTURY memiliki
kerentanan terhadap paniknya nasabah besar yang tidak dijamin oleh LPS. Bahkan,
ada satu nasabah yang simpanannya berada di atas Rp 2 triliun. Bila nasabah
seperti ini panik, bank langsung mengalami kesulitan likuiditas.
Pemerintah pada saat itu sangat
mengkhawatirkan kesulitan yang sama akan merembet ke bank-bank, yang satu kelas
dengan CENTURY dan jumlahnya ada sekitar 18 bank. Kekhawatiran seperti itu bisa
jadi benar, tapi juga bisa salah sebab sekali lagi, PUAB CENTURY tak lebih dari
0,4%.
CENTURY juga pada saat itu tidak
menimbulkan risiko kebangkrutan serial karena kewajiban antarbanknya hanya
sekitar Rp 750 miliar. Artinya, bank ini tidak memiliki potensi untuk
menimbulkan kolapsnya sistem pembayaran. Lagipula, bank ini memiliki jumlah
cabang yang relatif tidak masif, seperti bank-bank besar sekelas Mandiri atau
BRI. Efeknya terhadap kelancaran transaksi masyarakat relatif minimum.
Dari indikator-indikator teknis
di atas, hampir tak ada alasan untuk memperlakukan CENTURY sebagai bank yang
memiliki risiko sistemis sehingga perlu diselamatkan. Alasan penyelamatan bank
ini jelas bukan karena too big to fail.
Mungkin alasan sebenarnya adalah
too important to fail. Dengan kata lain, bank ini bagi sebagian pihak terlalu
penting untuk dibiarkan kolaps. Pertanyaannya untuk kepentingan siapa bank ini
diselamatkan. Mungkin untuk kepentingan para deposan kakap yang uangnya
tertanam sampai triliunan rupiah. Mereka merupakan kelompok kecil yang bisa
dihitung dengan jari, tapi memiliki koneksi yang kuat terhadap kekuatan
politik.
Kalau sinyalemen di atas benar,
keputusan yang melatarbelakangi penyelamatan bank tersebut tidak sepenuhnya
didasarkan pada pertimbangan profesional. Rakyat berhak melakukan Pledoi untuk
menangkis apologi ekonomi yang menjadi argumentasi para pengambil kebijakan
kala itu. Yang nampak justru ada kepentingan pemodal besar yang dilindungi oleh
KSSK. Lalu siapa mereka? Ini yang harus dikejar ke ranah hukum!
*Jusman Dalle adalah Analis
Ekonomi dan Penulis Kolom Ekonomi di Kompas, Jawa Pos, Tempo, dll
0 komentar:
Posting Komentar