pengumuman

pengumuman
Home » » Rezim Politisasi Nahdlatul Wathan

Rezim Politisasi Nahdlatul Wathan

Written By Unknown on Minggu, 14 April 2013 | 08.17



Oleh : Arif Rahman Maladi [1]

Nahdlatul Wathan (NW) merupakan salah satu ormas keagamaan terbesar di NTB. Tidak dapat dipungkiri bahwasanya dari sinilah lahir para cendikiawan-cendikiawan muslim yang telah banyak berdedikasi untuk pembangunan Sumber Daya Manusia NTB. Sebagai masyarakat NTB, tentunya kita paham betul akan peran besar NW dalam rangka membangun ummat dari berbagai dimensi kehidupan. Organisasi yang didirikan di Pancor  ,  oleh Al Mukkarom, Syeikh Maulana TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid atau yang dikenal dengan Tuan Guru Pancor bukan hanya tumbuh subur di Lombok, melainkan juga berkembang hingga lintas luar pulau lombok.

Perlu kita ketahui, sejak tahun 1934 M, jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini lahir, Maulana Syaikh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid telah menancapkan kiprahnya untuk bangsa ini, berjuang membangun keberagamaan umat dan masyarakat yang saat itu masih hidup terpuruk, tenggelam dalam kebodohan dan keterbelakangan di berbagai sektor kehidupan. Tentunya pantas kiranya kita haturkan doa kepada “sang matahari terbit dari timur” (gelar Maulana Syeikh), yang telah hadir bagaikan air yang menghilangkan haus dan dahaga dan bagaikan hujan yang turun membawa berkah, ketika menyirami bumi yang sedang tandus dan gersang[2]. Hingga saat ini NW dikenal sebagai Organisasi yang mengelola sejumlah Lembaga Pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Ini tentunya menjadi tinta emas keberadaan NW di NTB. Berangkat dari itu, tulisan ini saya angkat didasari oleh kebanggaan saya terhadap komitmen NW untuk memajukan ummatnya di NTB.

Politisasi Nahdlatul Wathan

Desentralisasi pasca reformasi, memang telah mengubah tatanan kehidupan ketatanegaraan bangsa ini. Demokrasi yang “seutuhnya” seakan menjadi sebuah harga mati perbaikan kehidupan politik ketatanegaraan di Indonesia. Dinamika perubahan politik ini tentunya berimplikasi penuh hingga tingkat daerah. Dimulai dari penguatan konsep desentralisasi di daerah, diharapkan menjadi modal awal terjadinya pemerataan pembangunan. Pemilihan Kepala Daerah langsung adalah salah satu konsep Demokrasi yang ditawarkan pasca reformasi. Hal ini tentunya, menjadi sebuah wahana baru bagaimana rakyat bisa diikutsertakan untuk membangun daerahnya.

Seiring dengan perjalanan demokrasi di Negeri ini, beberapa kader NW nampaknya ingin mengambil situasi yang menguntungkan dengan melakukan politisasi terhadap NW. Politik kemudian menjadi komoditas baru bagi para kader NW. Bak jamur dimusim hujan, banyak Tuan Guru dan kader-kader NW kini banting setir untuk terjun didunia politik. Perjuangan dan komitmen NW membangun akhlaq ummat kini telah terpecah menjadi dua. Bagaimana  tidak, para kader NW kini tengah asyik berlomba untuk masuk partai politik dan bersaing politik memperebutkan kekuasaan di NTB.  Terbukti di setiap pentas pemilukada baik dalam lingkup provinsi, kabupaten/kota para kader NW menjadi calon yang diusung untuk maju. Tidak salah memang karena kalau ditinjau dari hak konstitusional, setiap warga negara dijamin hak politiknya oleh Konstitusi. Tetapi tentunya tidak adil ketika NW sebagai ormas yang bergerak dibidang keagamaan seakan dijual demi mencapai kekuasaan. Ormas NW seakan menjadi kendaraan yang paling baik untuk melanggengkan kekuasaan para kadernya. Ironis tentunya, melihat keadaan sekarang di NTB, kita bisa saksikan di setiap kampanye selama masa suksesi terpampang jelas lambang organisasi NW, sebagian lagi para kader menggunakan atribut Tuan Guru di depan nama, seakan Gelar Tuan guru itu sebuah warisan leluhur.  Ironisnya lagi adalah pencantuman foto tokoh yang paling dikagumi masyarakat NTB yakni Almarhum Syeikh Maulana di beberapa baliho dan banner salah satu calon peserta Pemilukada. Fenomena ini terjadi dalam pemilukada beberapa waktu lalu di Lombok Tengah dan beberapa daerah di NTB. 

Beberapa langkah politik para kader NW juga terkesan seringkali berlawanan dan tidak sesuai dengan aturan main yang ada. Kita ambil saja contoh langkah politik Gubernur NTB, Zainul Majdi yang seakan menjadi “kutu loncat” politik ketika berpindah haluan menjadi Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai Demokrat Provinsi NTB yang notebanenya bukan kader demokrat. Walaupun pada awalnya ditentang, karena tidak sesuai dengan ketentuan AD/ART Partai Demokrat, tetapi pada kenyataan beliau lah yang terpilih secara aklamasi. Artinya disini ada hak para kader demokrat yang sah, yang harus dikesampingkan demi melanggengkan posisi beliau. Secara nyata-nyata beliau menunjukan bahwa dengan kekuasaan semua hal mungkin bisa terjadi. Ini tentunya bukanlah pendidikan politik yang baik dan pantas ditiru.

Sudah saatnya para kader NW menggugat kembali untuk menuntut reorientasi organisasi Nahdlatu Wathan. Kembalikanlah NW kembali menjadi organisasi yang sesuai pada falsafah berdirinya. NW tidak bisa dijual untuk kepentingan politik para kadernya yang terjun di dunia politik. NW bukanlah kendaraan yang mudah ditumpangi untuk melanggengkan kekuasaan politik, karena NW berdiri bukan untuk berkuasa namun NW berdiri untuk menyelamatkan ummat agar bisa hidup bahagia Dunia dan akherat, yakni melalui pembangunan Sumber Daya Manusia dengan pendekatan pendidikan Agama. Maka tidaklah “haram” jika para kader menuntut reorientasi Organisasi.        
Allahua’lam...


[1] Peneliti pada Pusat Kajian Konstitusi UGM dan Ketua Umum Mahasiswa Magister Ilmu Hukum UGM 2011-2012

[2] Muslihan Habib, dalam http://nahdlatulwathan.com/

Sumber: http://arifmaladi.blogspot.com/
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Humas PKS Lotim
Copyright © 2011. PKS Gumi Selaparang | Lombok Timur - NTB - All Rights Reserved
Template Created by Mas Template
Proudly powered by Blogger