Oleh : Arif Rahman Maladi [1]
Nahdlatul Wathan (NW) merupakan
salah satu ormas keagamaan terbesar di NTB. Tidak dapat dipungkiri bahwasanya
dari sinilah lahir para cendikiawan-cendikiawan muslim yang telah banyak
berdedikasi untuk pembangunan Sumber Daya Manusia NTB. Sebagai masyarakat NTB,
tentunya kita paham betul akan peran besar NW dalam rangka membangun ummat dari
berbagai dimensi kehidupan. Organisasi yang didirikan di Pancor , oleh
Al Mukkarom, Syeikh Maulana TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Majid atau yang
dikenal dengan Tuan Guru Pancor bukan hanya tumbuh subur di Lombok, melainkan
juga berkembang hingga lintas luar pulau lombok.
Perlu kita ketahui, sejak tahun
1934 M, jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini lahir,
Maulana Syaikh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid telah
menancapkan kiprahnya untuk bangsa ini, berjuang membangun keberagamaan umat
dan masyarakat yang saat itu masih hidup terpuruk, tenggelam dalam kebodohan
dan keterbelakangan di berbagai sektor kehidupan. Tentunya pantas kiranya kita
haturkan doa kepada “sang matahari terbit dari timur” (gelar Maulana Syeikh),
yang telah hadir bagaikan air yang menghilangkan haus dan dahaga dan bagaikan
hujan yang turun membawa berkah, ketika menyirami bumi yang sedang tandus dan
gersang[2]. Hingga saat ini NW dikenal sebagai Organisasi yang mengelola
sejumlah Lembaga Pendidikan dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Ini
tentunya menjadi tinta emas keberadaan NW di NTB. Berangkat dari itu, tulisan
ini saya angkat didasari oleh kebanggaan saya terhadap komitmen NW untuk
memajukan ummatnya di NTB.
Politisasi Nahdlatul Wathan
Desentralisasi pasca reformasi,
memang telah mengubah tatanan kehidupan ketatanegaraan bangsa ini. Demokrasi
yang “seutuhnya” seakan menjadi sebuah harga mati perbaikan kehidupan politik
ketatanegaraan di Indonesia. Dinamika perubahan politik ini tentunya berimplikasi
penuh hingga tingkat daerah. Dimulai dari penguatan konsep desentralisasi di
daerah, diharapkan menjadi modal awal terjadinya pemerataan pembangunan.
Pemilihan Kepala Daerah langsung adalah salah satu konsep Demokrasi yang
ditawarkan pasca reformasi. Hal ini tentunya, menjadi sebuah wahana baru
bagaimana rakyat bisa diikutsertakan untuk membangun daerahnya.
Seiring dengan perjalanan
demokrasi di Negeri ini, beberapa kader NW nampaknya ingin mengambil situasi
yang menguntungkan dengan melakukan politisasi terhadap NW. Politik kemudian menjadi komoditas baru bagi
para kader NW. Bak jamur dimusim hujan, banyak Tuan Guru dan kader-kader NW
kini banting setir untuk terjun didunia politik. Perjuangan dan komitmen NW
membangun akhlaq ummat kini telah terpecah menjadi dua. Bagaimana tidak, para kader NW kini tengah asyik
berlomba untuk masuk partai politik dan bersaing politik memperebutkan
kekuasaan di NTB. Terbukti di setiap
pentas pemilukada baik dalam lingkup provinsi, kabupaten/kota para kader NW
menjadi calon yang diusung untuk maju. Tidak salah memang karena kalau ditinjau
dari hak konstitusional, setiap warga negara dijamin hak politiknya oleh
Konstitusi. Tetapi tentunya tidak adil ketika NW sebagai ormas yang bergerak
dibidang keagamaan seakan dijual demi mencapai kekuasaan. Ormas NW seakan
menjadi kendaraan yang paling baik untuk melanggengkan kekuasaan para kadernya.
Ironis tentunya, melihat keadaan sekarang di NTB, kita bisa saksikan di setiap
kampanye selama masa suksesi terpampang jelas lambang organisasi NW, sebagian
lagi para kader menggunakan atribut Tuan Guru di depan nama, seakan Gelar Tuan
guru itu sebuah warisan leluhur.
Ironisnya lagi adalah pencantuman foto tokoh yang paling dikagumi
masyarakat NTB yakni Almarhum Syeikh Maulana di beberapa baliho dan banner
salah satu calon peserta Pemilukada. Fenomena ini terjadi dalam pemilukada beberapa waktu
lalu di Lombok Tengah dan beberapa daerah di NTB.
Beberapa langkah politik para
kader NW juga terkesan seringkali berlawanan dan tidak sesuai dengan aturan
main yang ada. Kita ambil saja contoh langkah politik Gubernur NTB, Zainul
Majdi yang seakan menjadi “kutu loncat” politik ketika berpindah haluan menjadi
Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai Demokrat Provinsi NTB yang notebanenya bukan
kader demokrat. Walaupun pada awalnya ditentang, karena tidak sesuai dengan
ketentuan AD/ART Partai Demokrat, tetapi pada kenyataan beliau lah yang
terpilih secara aklamasi. Artinya disini ada hak para kader demokrat yang sah,
yang harus dikesampingkan demi melanggengkan posisi beliau. Secara nyata-nyata
beliau menunjukan bahwa dengan kekuasaan semua hal mungkin bisa terjadi. Ini
tentunya bukanlah pendidikan politik yang baik dan pantas ditiru.
Sudah saatnya para kader NW
menggugat kembali untuk menuntut reorientasi organisasi Nahdlatu Wathan.
Kembalikanlah NW kembali menjadi organisasi yang sesuai pada falsafah
berdirinya. NW tidak bisa dijual untuk kepentingan politik para kadernya yang
terjun di dunia politik. NW bukanlah kendaraan yang mudah ditumpangi untuk
melanggengkan kekuasaan politik, karena NW berdiri bukan untuk berkuasa namun
NW berdiri untuk menyelamatkan ummat agar bisa hidup bahagia Dunia dan akherat,
yakni melalui pembangunan Sumber Daya Manusia dengan pendekatan pendidikan
Agama. Maka tidaklah “haram” jika para kader menuntut reorientasi
Organisasi.
Allahua’lam...
[1] Peneliti pada Pusat Kajian
Konstitusi UGM dan Ketua Umum Mahasiswa Magister Ilmu Hukum UGM 2011-2012
[2] Muslihan Habib, dalam http://nahdlatulwathan.com/
Sumber: http://arifmaladi.blogspot.com/
0 komentar:
Posting Komentar