Dalam konteks sejarah perjuangan
kemerdekaan Indonesia, serangan fajar diartikan sebagai serangan mendadak dan
tiba-tiba ke jantung pertahanan lawan yang sedang terlelap dan terbuai mimpi.
Serangan fajar kala itu cukup jitu untuk memporak porandakan kekuatan musuh
(kolonialisme Belanda dan Jepang). Sebagai siasat perang melawan kolonialisme
maka serangan fajar sah-sah saja dilakukan demi tercapainya suatu kebebasan
anak bangsa. Tidak ada yang haram dalam peperangan yang penting negerinya
segera terbebas dari keserakahan colonialism.
Pernyataan di atas sering kali
diungkapkan dan diceritakan oleh para pejuang kemerdekaan di Daerah Istimewa
Ngayogyakarta Hadiningrat, salah satunya adalah bapak Subagyo. Selama menuntut
ilmu di kota Pelajar dan Budaya, saya banyak bergaul dan berteman dengan
mereka. Tentu dari mereka, saya banyak belajar tentang semangat juang dan
pantang menyerah dalam menghadapi permasalahan hidup serta strategi mensiasati
kehidupan yang lebih baik.
Dalam politik, serangan fajar dimaknai
sebagai siasat untuk mempengaruhi pemilih dengan memberikan uang atau material.
Praktik politik uang berupa serangan fajar dilakukan dengan gerilya dari rumah
kerumah untuk memberikan material, bahan pangan atau semacamnya pada waktu
fajar di hari pemungutan suara. Pada konteks sejarah kepemiluan, kata Muhammad
Qodari serangan fajar datang dari partai penguasa. Apakah serangan fajar akan
terjadi atau tidak pada pilgub NTB, bergantung pada ketersediaan sejumlah dana
pasangan calon gubernur.
Tentu tidak ada yang mengharapkan
serangan pajar pada pilkada di NTB terjadi, karena perbuatan itu telah
menciderai hak demokrasi warga masyarakat. Serangan fajar merupakan salah
bentuk dari money politic atau politik uang. Money Politic harus dihindari,
kata Dr. Kadri, pengamat politik dari IAIN Mataram pada acara Obrolan Warung
Kopi (OWK) di TV9 (9/4/2013). Lebih lanjut diungkapkan Kadri bahwa maraknya
politik uang (money politic) pertanda pasangan calon tidak percaya diri untuk
memasuki arena pertarungan. Money Politic juga menjadi indikator bahwa pasangan
calon miskin program yang akan ditawarkan kepada masyarakat.
Kita dan siapa pun juga,
sebaiknya tidak sepakat terhadap praktik politik serangan fajar atau money
politik untuk mempengaruhi pemilih. Biasanya, sasaran tembak politik serangan
fajar adalah massa mengambang (ploating mass). Umumnya, mereka adalah pemilih yang
belum berafiliasi ideologis dan emosional dengan partai politik tertentu dan
atau pasangan calon gubernur. Walaupun sosialisasi pasangan calon gubernur
marak dilakukan di sudut-sudut kota dan lewat media masa, namun banyak
masyarakat yang belum jatuh hati pada salah satu pasangan calon. Wak Camet
misalnya, sampai saat ini belum menentukan pilihan. Menurutnya, nanti saja di
bilik suara karena calon pemimpin sama saja; memilih atau tidak memilih tidak
berpengaruh terhadap kehidupan.
Sekarang, tanya saya kepada Wak
Camet, kalau dikasih uang atau bahan makanan pokok oleh pasangan calon,
bagaimana? Apakah wak akan mencoblos pasangan yang mengasih uang itu? Tanpa
saya duga-duga, wak Camet menjawab bahwa saya akan ambil uangnya; mengenai
siapa yang saya coblos tentu rahasia, itu hak saya. Kelihatannya wak Camet lugu
dan tampak bodoh, ternyata sudah paham politik serangan fajar. Masalahnya,
apakah serangan fajar atau politik uang masih akan terjadi? Saya agak
menyangsikan praktik politik uang atau serangan fajar masih terjadi, sebab
masyarakat pemilih sudah kritis dan rasional, serta massa mengambang sudah
semakin sedikit.
Masyarakat kita sudah dapat
membangun afiliasi ideologis dan identifikasi emosional pada partai politik.
Peserta politik pemilu 2014 mendatang hanya diikuti oleh 12 partai politik,
sehingga membangun afiliasi ideologis dan politik sangat terbuka, baik partai
politik berideologi nasionalis, agamis dan atau campuran keduanya. Dengan
alasan-alasan tersebut ruang gerak praktik politik uang atau serangan fajar
mestinya tidak terjadi. Itu artinya, massa mengambang (ploating mass) semakin
sedikit.
Tentu kondisi tersebut akan
semakin mempersempit ruang gerak praktik serangan fajar, tetapi juga tidak
menutup kemungkinan masih akan terjadi dengan kemasan atau brand yang lain. Nah
pada aras ini, kalaupun seseorang mendapatkan serangan fajar, boleh jadi
pemilih akan menerima uang atau bingkisan yang diberikan sembari tetap
mencoblos partai atau pasangan calon yang menjadi pilihannya (Qodari, 2004). Dan
bisa terjadi sebaliknya, seseorang menerima uang atau bingkisan tetapi tidak
mencobolosnya karena bukan pilihannya.
Antara Cost Dan Money Politik
Secara praksis kita sulit
membedakan antara cost dan money politik, tetapi secara teoritis keduanya
berbeda dan sangat mudah membedakannya. Cost politic merupakan biaya yang
dikeluarkan seseorang atau kelompok untuk mengurus masalah-masalah yang
berkaitan dengan administrative partai politik. Baik yang berkaitan dengan
proses pencalegan maupun yang berkaitan dengan legalitas suatu partai politik.
Sedangkan money politic merupakan material (uang dan barang) yang dikeluarkan
seseorang atau komunitas politik untuk mempengaruhi pemilih dalam suatu
kontestasi politik.
Namun demikian, Politik uang atau
money politic secara normative telah merusak tatanan dan system demokrasi yang
sudah terbangun serta mencabik hak warga masyarakat sebagai manusia bebas untuk
menentukan pilihannya. Dengan berlandaskan undang-undang pemilu Nomor 15 Tahun
2012, pelaku money politic terang-terangan telah melanggar asas pemilu yang
Luber dan Jurdil. Bagi mereka yang melakukan money politic dan terbukti dapat
disangkakan dengan pasal tindak pidana pemilu dengan hukuman penjara.
Politik uang via serangan fajar
termasuk permainan kotor yang harus dihindari oleh peserta pemilu, termasuk
pemilu kepala daerah. Karena itu peran Bawaslu sangat diharapkan untuk
mengamputasi praktik politik uang. Kini struktur Bawaslu yang bersifat tetap
dan mandiri sudah sampai kota provinsi, karena itu cukup kuat untuk mengawasi
praktik-praktik politik kotor yang merusak demokrasi. Kemudian, layak ditunggu
aksi akrobatik Bawaslu untuk menangkal dan menangkap praktik politik serangan
fajar yang mungkin akan terjadi menjelang pemilihan umum kepala daerah di NTB.
Kamu tak usah galau dan pusing
memikirkan akan terjadinya serangan fajar, Wak Camet. Biarkan saja, itu
pertanda bahwa para kontestan politik sudah terbebas dari uang alias sudah kaya
sehingga wajar kalau menebarkan uangnya kepada masyarakat, ujar Wak Emet kepada
sahabat karibnya yang tampak gelisah. Coba kamu fikirkan Wak Emet, pinta Wak
Camet, bagaimana mungkin, yang kamu katakan mereka sudah terbebas dari uang,
faktanya dana kampanye yang dilaporkan para pasangan Calon Gubernur yang sudah
dipublish KPU sangat tidak masuk akal. Maksudnya, apa Wak Camet. Begini, dari
empat pasangan Calon Gubernur dana kampanyenya sangat sedikit dan tidak
sebanding dengan sosialisasi yang telah dilakukannya selama berbulan-bulan.
Dari Laporan Hasil Kekayaan
Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dilakukan KPK bekerjasama dengan KPU NTB,
calon terkaya H. Harun Al-Rasyid dengan jumlah kekayaan mencapai 17 Miliar;
diurutan berikut TGB dengan kekayaan 11 Miliar; KH. Zulkipli Muhadly total kekayaan
7 Miliar; Surjadi Jaya Purnama (SJP) total kekayaan 2 Miliar; sementara Cawagub
rata-rata memiliki kekayaan di angka 2 Miliar.
Memang jumlah kekayaan para
pasangan Cagub tidak berbanding lurus dengan biaya sosialisasi dan kampanye
yang dilakukan. Coba saja diperhatikan, biaya kampanye cagub terkaya lebih
sedikit dari cagub lainnya. Dari data di KPU NTB dapat dilihat bahwa pasangan
TGB-AMIN melaporkan penerimaan dana kampanye sekitar Rp 4.220.000.000,-
pasangan SJP-Johan Rp 405.957.766,-; pasangan HARUM sekitar Rp 2.750.000.000,-
dan pasangan Zul-Ihsan sekitar Rp 500.000.000,-. (sebagaimana dilansir harian
Suara NTB, tanggal 30 April 2013).
Itulah faktanya Wak Emet. Saya
sangat hawatir dengan penerimaan dana kampanye tersebut, para pasangan calon gubernur
tidak bisa berbuat banyak untuk mensosialisasikan visi, misi dan program
kerjanya, terang Wak Camet. Dana kampanye tersebut hanya bisa dipakai untuk
membayar iklan via media cetak dan elektronik. Masalahnya, dari mana mereka
memperoleh dana-dana bantuan untuk masyarakat, setiap kali blusukan ke
masyarakat? Ow, kamu ini kayak penyelenggara pemilu saja Wak, biarkan saja,
yang penting masyarakat senang diberi bantuan; tidak usah repot, kata Wak Emet
menasehati sahabatnya itu.
Pada aras ini, Bawaslu sangat
diharapkan perannya untuk menangkal atau setidaknya meminimalisir praktik money
politik. Guna menjalankan tugasnya seharusnya Bawaslu serta jajarannya di semua
tingkatan untuk melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah, kepolisian dan
kejaksaan untuk menangkal segala bentuk money politik yang mungkin terjadi. Hal
itu perlu dilakukan agar Bawaslu sampai ketingkatan pengawas lapangan nyaman
dan aman menjalankan tugasnya. Kasus pidana anggota panwas kota Bima cukup
menjadi pelajaran bagi Panwas agar berhati-hati dan selalu berkordinasi dengan
pemda, kepolisian dan kejaksaan.
Namun demikian, masyarakat harus
berperan aktif dalam mengawasi kemungkinan praktik money politik, karena Panwas
tidak mungkin mampu memberikan pengawasan maksimal. Karena itu, perlu ada
Panwas partikelir alias lembaga pemantau pemilu dari unsur masyarakat.
Kuantitas Panwas Partikelir terus bertambah, sebab lembaga panwaslu masih belum
mencukupi untuk melakukan kepengawasan tempat pemungutan suara (TPS) di NTB.
Dengan keberadaan Panwas dan
Panwas Partikelir diharapkan mampu meminimalisir money politik atau serangan
fajar pada Pilkada di NTB. Money politik jelas menciderai tata demokrasi yang
sudah terbangun dan mencabik harkat pemilih yang bebas, serta menodai asas
pemilu yang Luber dan Jurdil. Sehingga darinya terlahir suatu kondisi
persaingan yang sehat “menang terhormat, kalah tersanjung” dan tidak ada yang
tersakiti. Wallahul Muwafiq Ila Darissalam.
Penulis: M. Ahyar Fadli, S.Ag, M.Si
0 komentar:
Posting Komentar